Anak Kiai Jombang Mendirikan NU dan Muhammadiyah
Desa Sambongdukuh tak jauh dari pusat kota Jombang. Lokasinya di utara Pasar Legi Citra Niaga. Berdekatan dengan pondok-pondok pesantren besar seperti Tambakberas dan Denanyar.
Di Sambongdukuh itu terletak Pondok Pesantren Al Mimbar. Nama pondok ini memang tak tenar tapi di sinilah punjer dakwah Islam berasal. Inilah pondok tertua di kota santri ini.
Memasuki Pesantren Al Mimbar, bangunannya masih terawat. Temboknya tersapu cat bersih. Di samping pondok, berdiri rumah-rumah pendirinya yang sekarang didiami cucu dan cicitnya.
“Ini dulu tempat diskusi pendiri Muhammadiyah Jombang, Mas. Juga, tempat kiai Hasyim Asy’ari nyantri,” ujar seorang keturunan KH. Mimbar, saat mempersilakan masuk dirumahnya. Terlihat, rumah tersebut masih memiliki tahun berdiri dengan jelas: 1929.
“Inilah rumah Gus Rifai, Gus Kusen, Gus Salim, pendiri Muhammadiyah Jombang,” tambahnya, setelah duduk, membuka omongan kepada para tamu yang hadir. Rumahnya berbangun bangunan lama, meski pembaharuan sebagian wilayahnya, masih terlihat suasana klasik namun menentramkan.
Usai ngobrol agak lama, kami diajak menyusuri pondok pesantren, diperkenalkan bangunan yang dulu sering dipakai pendiri Muhammadiyah untuk berdiskusi, juga, ditujukkan lokasi di pertengahan pesantren, yakni makam.
Makam ini berpanjang sekitar 10 kaki saat berjalan. Di sini terjejer makam – makam dengan urutan yang rapi, semuanya dihuni anak keturunan dan keluarga KH. Mimbar, termasuk makan pendiri Muhammadiyah.
K.H. Mimbar dikaruniai 9 orang anak, tiganya merupakan pendiri Muhamamidyah: Gus Rifai, Gus Kusen dan Gus Salim. Gus Salim menikah dengan Masfufah, sepupu dari KH. Wahab Wasbullah. Anak yang lain dari KH. Mimbar, Mu’mimah, menikah dengan KH. Hamid Hasbullah yang merupakan saudara dari KH. Wahab Wasballah
“Kalau diurut lebih lebar lagi, pendiri Muhammadiyah di Jombang masih memiliki hubungan dengan pendiri NU yang lain, yakni KH. Hasyim Asy’ari. Karena KH. Hasyim dan KH. Wahab Hasbullah masih kerabat dekat,” terang keturunan KH. Mimbar tersebut yang tidak mau disebutkan namanya.
Berdirinya Muhammadiyah di Jombang
Menurut catatan Pengurus Daerah Muhammadiyah (PDM) Jombang, Muhammadiyah Jombang berdiri pada tahun 1924, hal itu tercatat dalam surat keputusan (SK) pendirian Muhammadiyah yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jogyakarta pada 4 Juni 1967/ 25 Safar 1387, ditandatangani oleh ketua KH A Badawi dan sekretaris M. Djindar Tamimy.
Ada cerita menarik saat pendirian Muhammadiyah di Jombang, hal ini dituturkan sekretaris PDM Jombang yang membidangi Majelis Pustaka Indonesia (MPI) Jombang, Hadi Nur Rochmat, atau yang sering di sapa Pak Nanang.
“Tiga serangkai pendiri sebelum mendirikan sering datang ke Surabaya ikut kajian kiai Mas Mansur di Peneleh. Karena membawa misi pembaharuan yang sebelumnya tida ada, mereka tertarik, kemudian meminta izin kepada Mas Mansur untuk mendirikan Muhammadiyah di Jombang,” ujarnya.
“Ide untuk memerangi Tahayyul, Bid’ah, dan Khurofat, ini menjadikan ketiganya semangat memperjuangkan dakwah Muhammadiyah. Dakwah memperbarui semangat dalam beragama Islam,” tambahnya.
Anehnya, dan menariknya di sini, ketiga serangkai tersebut malah meminta restu KH. Wahab Hasballah Tambak Beras dan Kiai Bisri Syansuri Den Anyar Jombang. Yang berlainan amaliah (furu’iyah) untuk mendirikan Muhammadiyah.
“Justru dari perbedaan itu, kiai tersebut setuju, kelompok dakwahnya bisa dibagi, NU berdakwah dikalangan masyarakat pedesaan, Muhammadiyah berdakwah dikalangan priyayi,” ujar Fathurrahman, anggota majelis Tarjih PWM, yang pernah mendapatkan cerita dari kiai Fauzan, dan kiai Fauzan mendapatkan cerita langsung Gus Rifai.
Setelah direstui, ketiga serangkai tersebut datang ke kiai Mas Mansur dan berdirilah Muhammadiyah 1924. Saat itu tujuan utama pendirian Muhammadiyah untuk menyebarkan ajaran agama Islam dan semangat pembaharuan, yang dalam kajiannya, sering mendatangkan kiai Mas Mansur ke Jombang.
Hubungan Erat Muhammadiyah dan NU
Masih segar diingatan saat Gus Dur lengser dari tampuk presiden RI. Salah satu dampaknya sudah barang tentu panasnya hubungan NU dan Muhammadiyah, terlebih di Jawa Timur selaku kota kelahiran Nahadhatul Ulama.
“Setelah Gus Dur lengser, memang terjadi sedikit pergesekan antar warga NU dan Muhammadiyah di Jombang, namun tidak sampai memakan korban, ya adalahlah seperti tiba – tiba rumah milik warga Muhammadiyah ditulis apa gitu,” ujar Fathurrahman, yang juga sakdi sejarah saat peristiwa itu berlangsung.
Namun peristiwa panas ini tidak memakan waktu lama, segera setelahnya, pimpinan NU, Muhammadiyah, dan masyarakat Jombang bertemu untuk membincang hal demikian.
Setelah peristiwa tersebut, pimpinan Muhammadiyah Jombang, Pimpinan NU, masyarakat China, bertemu di rumah Kiai Muhid Jailani, kemudian membuat wadah Forum Komunikasi Masyarakat Jombang, kemudian semakin eratlah semua,” tambahnya.
Sebelum peristiwa di atas, hubungan NU dan Muhammadiyah sudah erat, itu terbukti saat Muhammadiyah mengadakan Pekan Olahraga Nasional Hizbul Wathan (PON HW) 1998 di Jombang,
“Dulu ada lomba lari, startnya di Gedung Dakwah Muhammadiyah, finishnya di Tebu Ireng Jombang, dan semua memeriakan, bahkan, kiai Wahid Hasyim, pakleknya Gus Dur, Ikut menyambut dan mempersilakan kalau Muhammadiyah ada kegiatan di adakan di Tebu Ireng, ungkapnya.
Hingga kini Islam di Jombang selalu unik, NU dan Muhammadiyah selalu adem ayem dan saling bersinergi untuk membangun Jombang yang lebih berkarakter.
Penulis: Teguh Imami
Semangat Pembaharuan di Balik Pendirian Muhammadiyah Gresik
Masjid Jami’ di sisi sebelah barat alun-alun Kabupaten Gresik, Jl KH Wachid Hasyim, itu masih menjadi pusat peribadatan yang ramai. Masjid yang merekam semangat pembaharuan di masa lampau itu menjadi tempat singgah, berteduh, dan pelaksanaan aktivitas keagamaan bagi warga sekitar.
Arsitektur masjidnya masih terawat dengan baik. Polesan cat, tata letak, dan fasilitas-fasilitas masjidnya, bergaya khas masjid pada zaman Wali Songo. Dari semua pernak-pernik, ada satu yang menarik, dan kelak, memiliki cerita kebesaran sejarah: bedug.
Dua bedug itu berada di lantai dua, berjejer meski berjauhan dan menghadap sebelah timur. Dua bedug ini menjadi saksi bisu saat sekumpulan remaja, selepas salat, duduk-duduk santuy disebelahnya. Sambil selonjoran, inisiatif pendirian Muhammadiyah di Kabupaten Gresik bermula.
Gejolk Remaja Masjid Jami’
Buku yang ditulis Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik yang berjudul Memori Milad Muhammadiyah Gresik mengungkapkan, awalnya 4 remaja masjid yang bernama Faqih Usman, Adnan Haji, M. Khusnan, dan Ahmad Shaleh itu berdiskusi pembaharuan tentang Islam. Mereka mendiskusikan pembaharuan yang terjadi di Surabaya maupun di Yogyakarta yang sering termuat dalam berbagai surat kabar, juga tabligh akbar yang diselenggarakan di kota-kota tersebut.
Gejolak remaja saat berdiskusi itu bukan sekadar terjadi satu kali, melainkan berkali-kali. Suatu kali, keresahan mereka berada pada puncaknya. Mereka pun bersepakat untuk mendatangi langsung gerakan pembaharuan ke sumbernya, yakni di Yogyakarta. Dua orang perwakilan berangkat ke Yogyakarta, terdiri dari Fakih Usman dan Khusnan. Keduanya diterima langsung oleh Kiai Hisyam, Kiai Sujak, Kiai R. Hajid, dan Kiai Basiran.
Setelah mendapat penjelasan dari beberapa anggota Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) Muhammadiyah, utusan dari Gresik itu disarankan untuk menemui K.H. Mas Mansur selaku ketua cabang Muhammadiyah Surabaya. Para utusan dari Gresik itu pun menemui K.H. Mas Mansur di Surabaya. Mereka mendapat sambutan yang sangat menggembirakan, bahkan K.H. Mas Mansur bersedia untuk datang ke Gresik memberikan pengajian.
Minta Doa Restu Kiai
Saat didatangi Tim Museum Muhammadiyah, Marindra Adnan, anak kandung dari pendiri Muhammadiyah Gresik, Adnan Haji, menceritakan bahwa Menjelang berdirinya Muhammadiyah di Gresik, para remaja Gresik tersebut mendatangi beberapa Kiai di Gresik untuk meminta nasihat tentang rencana pendirian Muhammadiyah. Mereka mendatangi K.H. Zubair di pondoknya Kauman dan Kiai Marlikan (K.H. Kholil) di Pondok Blandongan.
Setelah ditemui, kedua Kiai itu merestui. “Datangnya para pendiri awal Muhammadiyah ke Kiai-kiai ini, untuk meminta restu, dukungan, dan bimbingan. Sebab remaja masjid Jami’ ini juga murid dari Kiai-Kiai tersebut,” ceritanya.
Semangat Pembaharuan di Gresik
Menurut Mustakim dalam bukunya yang berjudul Sejarah Pergerakan Muhammadiyah di Gresik tahun 1926-2003 pendiri awal Muhammadiyah Gresik itu memiliki pola pikir dan cara pandang yang berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Mereka punya cara pandang yang selangkah lebih maju dengan teman-teman zamannya.
Pada 1926 Muhammadiyah Gresik resmi berdiri dalam wilayah Cabang Surabaya. Peresmian Muhammadiyah di Gresik itu diselenggarakan di rumah K.H. Abdullah Khatib, di kampung Kemuteran, Jln. Nyai Ageng Arem-Arem. Peresmian itu dihadiri dan dilakukan sendiri oleh KH Mansur sebagai Ketua Cabang Surabaya.
Namun, Muhammadiyah di Gresik belum bisa berdiri sendiri, sebab, kedudukannya masih menjadi bagian dari Surabaya. Dan dalam perkembangan selanjutnya, saat Gresik sudah menjadi Kabupaten sendiri, saat itu Muhammadiyahnya pun ikut berdiri sendiri. Tidak lagi bergabung dengan Muhammadiyah Cabang Surabaya.
Rumah K.H. Abdullah Khatib, di kampung Kemuteran, Jln. Nyai Ageng Arem-Arem, itu seterusnya menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah di Gresik.
Penulis: Teguh Imami
Inspirasi Dari Kiai Dahlan Saat Berdirinya Muhammadiyah di Malang
Stasiun kereta api di Kepanjen dan Sumberpucung, Kabupaten Malang, itu terawat dengan baik. Meski mengalami pemugaran bangunan, bekas-bekas sejarahnya masih tersimpan dengan rapi. Dua stasiun itu sampai saat ini masih menyimpan jejak kebesaran Kiai Dahlan. Dari sanalah, Muhammadiyah di Malang pertama kali disebarkan.
Sepanjang jalur timur pulau Jawa memang tidak bisa dilepaskan dari penyebaran Muhammadiyah. Stasiun kereta api satu ke stasiun kereta api lainnya menjadi saksi Kiai Dahlan saat turun, datang ke pasar untuk berdagang batik, kemudian melakukan aktivitas dakwah. Pola yang sama bisa dilihat di kota Surabaya, Banyuwangi, Lumajang, Probolinggo, dan juga Malang.
Pada tahun 2018, Tim Museum Muhammadiyah melacak sejarah Muhammadiyah di Malang. Dari mana dan melalui saluran apa, Muhammadiyah bisa berkembang. Saat itu pelacakan dipimpin langsung oleh Bu Widiyastuti, Wakil ketua MPI Pusat Muhammadiyah sekaligus cicit Kiai Dahlan.
Setelah melakukan pelacakan, ditemukan bahwa Muhammadiyah Malang awal penyebarannya bermula dari Kecamatan Kepanjen dan Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang.
“Awal mula Kiai Dahlan datang ke Kepanjen dan Sumberpucung untuk berdagang batik dan sarung, setelah mengenal penduduk setempat, lingkungan sekitar, Kiai Dahlan pun berdakwah tentang Islam dan gerakan Muhammadiyah,” ujar Bu Wiwid setelah mendapatkan data sejarah.
Kebetulan, jalur kereta api dari Yogyakarta ke Malang berhenti di Sumberpucung lalu Kepanjen.
“Sebenarnya Sumberpucung waktu itu bukan tujuan utama wilayah dakwah beliau. Aktivitas beliau di sana awalnya lebih dikarenakan pola perjalanan kereta waktu itu. Kadangkala berhenti, menginap di sana untuk berbagai alasan, bisa karena bahan bakar atau menunggu penumpang,” tambahnya.
Awal Mula Muhammadiyah di Kepanjen
Suatu ketika, Kiai Dahlan naik kereta api dan turun di stasiun Kepanjen. Tujuan awalnya, beliau ingin mengunjungi pedagang-pedagang batik yang aslinya berasal dari Kotagede, Yogyakarta. Tiba di Kepanjen, Kiai Dahlan langsung menuju rumah Saeroji. Saeroji sendiri saat itu belum mengenal Muhammadiyah.
Dalam buku Menembus Benteng Tradisi yang ditulis Tim Muhammadiyah Jawa Timur, dijelaskan bahwa setelah dakwah Kiai Dahlan, Saeroji tertarik dengan Muhammadiyah. Kemudian, Saeroji mengumpulkan Haji Ahwan dan Haji Sidik. Setelah bersepakat satu sama lain, mereka mengajak tetua dan tokoh lain di Kepanjen. Akhirnya berdirilah Muhammadiyah.
Pada 21 Desember 1921, Muhammadiyah
Kepanjen resmi berdiri dengan status cabang melalui Surat Keputusan Hoogdbestuur Muhammadiyah No. 7/1921. Tidak lama setelahnya, Aisyiyah menyusul dan berdiri mengikuti.
Awal Mula Muhammadiyah di Sumberpucung
Suatu malam, satu tahun setelah berdiri Muhammadiyah di Kepanjen, tepatnya pada tahun 1922, Kiai Dahlan sedang menunggu kereta api berhenti di Sumberpucung, kecamatan yang tidak jauh dari Kepanjen.
Lama dinanti, kereta apinya tak kunjung datang. Karena hari sudah malam, terpaksa Kiai Dahlan mencari penginapan. Setelah lama mencari, Kiai Dahlan dipertemukan dengan kepala stasiun, bernama Aspari.
Saat itu Aspari tidak mengenal siapa Kiai Dahlan, atau belum mengenal Muhammadiyah. Setelah menginap itu, dalam buku yang dijelaskan Menembus Benteng Tradisi, menjelaskan bahwa Aspari kemudian tertarik dengan pribadi dan penampilan Kiai Dahlan.
Karena Aspari masih penasaran dengan pribadi dan penampilan Kiai Dahlan, suatu ketika, beberapa saat setelah Kiai Dahlan menginap di rumahnya, puncak penasarannya membuncah. Aspari pun datang ke Yogyakarta untuk bertandang ke rumah Kiai Dahlan. Di rumah Kiai Dahlan, Aspari menyamar menjadi seorang musafir.
Saat tiba waktunya salat, Aspari minta kepada Kiai Dahlan untuk dapat meminjami sarung. Maka dengan serta merta, diajaklah tamu tersebut ke dalam kamarnya, dan dibukakan almari pakaian. Kiai Dahlan mempersilakan tamu tadi mengambil sendiri pakaian mana yang dia sukai.
Aspari mengambil sarung yang paling bagus, yang konon merupakan sarung yang paling sering digunakan Kiai Dahlan. Sarung tersebut ternyata langsung diberikan kepada Aspari.
Sikap santun, sederhana, dan welas asih itulah, sekembalinya dari Yogyakarta, Aspari mendirikan Muhammadiyah di Sumberpucung, pada tahun 1922.
Sebuah dokumen hasil riset Khozin, akademisi Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menemukan bahwa Tanggal 24 September 1926 ditetapkan sebagai hari jadi Muhammadiyah di Malang bersamaan dengan berdirinya Daerah Muhammadiyah Malang, meskipun jauh sebelum itu di Kepanjen tepatnya tahun 1921 telah berdiri Cabang Muhammadiyah, disusul kemudian tahun 1922 berdiri Muhammadiyah Cabang Sumber Pucung.
“Memang ada 2 waktu tersebut, jadi awalnya 1921 Kiai Dahlan ke Kepanjen dan menjadi cikal cabang Muhammadiyah Kepanjen,” ceritanya.
Penulis: Teguh Imami
Saat 60 Anggota PKI Bergabung Muhammadiyah Madiun
Lelaki muda itu resah. Ia melihat lingkungan di sekitarnya menjalankan ajaran agama Islam yang tidak sesuai sebagaimana agama itu diturunkan. Banyak masyarakat kala itu juga tidak menjalankan syariat agama Islam.
Usianya baru 19 tahun dan masih tercatat sebagai pelajar kelas 2 Apleinding School Voor Inlandsche Ambtenaren (Osvia) (Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil). Hingga akhirnya, pada tahun 1918, semangat mudanya membuncah, ia pun melaksanakan cita-citanya: meningkatkan pengetahuan agama Islam yang benar untuk masyarakat.
Bersama dua orang aktivis muslimah, ia ingin mengadakan Tabligh Akbar. Sebelum mengadakan, lelaki yang bernama Moh. Thoyyib itu berdiskusi dengan tokoh-tokoh Central Serikat Islam (CSI), seperti Raen Tjokro Adi Suryo, R. T. Tjokroadisoerjo sebagai Patih Madiun (Kemudian hari menjadi Bupati Madiun).
Tokoh-tokoh tersebut merestui Moh. Thoyyib untuk mengadakan Tabligh Akbar, dengan usulan mengundang tokoh besar: Kiai Dahlan dari Jogyakarta. Saat itu, kapasitas Kiai Dahlan diundang selaku penasehat CSI sekaligus ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Kiai Dahlan Datang ke Madiun
Undangan itu diterima Kiai Dahlan, dan pada 1922, Kiai Dahlan pun mengisi Tabligh Akbar di Madiun. Tabligh Akbar sendiri dilaksanakan di Pendopo Kabupaten dengan format forum terbuka yang bisa diikuti siapapun. Dan acara ini dalam catatannya, pertama kali terjadi di Madiun.
Masyarakat yang mendengar ceramah Kiai Dahlan banyak yang terkesima, terlebih saat membawakan tema pembaharuan yang sebelumnya masyarakat belum pernah menerima ceramah seperti demikian.
Setelah selesai ceramah, masih banyak masyarakat yang penasaran dan ingin banyak pertanyaan yang disampaikan. Namun karena waktu yang tidak memungkinkan akhirnya pertanyaan itu belum diajukan.
Malam harinya, beberapa masyarakat itu mengajak Kiai Dahlan untuk melanjutkan pembahasan mengenai ide pembaharuan yang disampaikan saat ceramah tadi, mereka pun bertemu di rumah Penghulu Badjoeri. Setelah diskusi, hasil pertemuan lanjutan itu masyarakat tersebut ingin mendirikan Muhammadiyah di Madiun.
Namun, atas saran Kiai Dahlan, masyarakat itu baiknya mendirikan sekolah terlebih dahulu sebelum mendirikan Muhammadiyah di Madiun.
Berdirinya Sekolah Islamija
Dalam data yang ditulis Fauzan Anwar Sandiah, mahasiswa Program oktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dua bulan kemudian, voorlopig bestuur atau sekretaris sementara mengadakan pertemuan berikutnya. Kiai Dahlan hadir pada pertemuan tersebut yang memutuskan untuk mendirikan sekolah Islamijah di tempat Hadji Dimjati.
Pendirian sekolah itu didukung penuh oleh Bupati Madiun, R. T. Tjokroadisoerjo, sekolah Islamjiah yang berdiri pun mendapat dukungan untuk penggalangan dana. Panitia pendirian sekolah pun mengadakan pertunjukan wayang dan gamelan sebagai langkah menggalang dana.
Selama dua malam, pertunjukan wayang itu dihadiri oleh pembesar di Madiun, mulai dari regent, assistant-resident, controleur, dan wedono serta para priyayi. Kebanyakan, di antara mereka dengan sengaja membeli karcis kelas I supaya dapat menyumbang untuk pembangunan sekolah.
Setelah hasil penggalangan dana dihitung, hasil dari pertunjukan itu sangat cukup untuk membiayai pembangunan sekolah.
Berdirinya Muhammadiyah di Madiun
Buku Menembus Benteng Tradisi yang ditulis Tim Muhammadiyah Jawa Timur mengungkapkan pendirian Muhammadiyah di Madiun diprakarsarai oleh orang Sumatra yang bernama Abdul Rozak Chaghir Salim (A. R. C. Salim), pejabat Depotbouder O/R Madiun.
Sebelum mendirikan, ia mengundang sebelas orang yang dianggap berpengaruh di Madiun. Pertemuan dilakukan di rumah Salim yang dihadiri oleh R. Soemodiredjo, R. Sosromanggolo, R. Joedodikoesoemo, Partodisoemo, P. Prawirosoemo, M. Soehardi, T. S. Adiredjo, M. Salikin, R. Prawirodimoeljo, R. M. Prawirosoedirdjo, dan R. Koesoemonoto. Sebelas orang itu kemudian bermufakat mengajak lainnya terlebih dahulu sebelum mendirikan Cabang Muhammadiyah.
Muhammadiyah berkembang pesat, pada 28-29 Agustus 2924, diadakan rapat anggota yang jumlahnya sudah 40 orang. Pertemuan di rumah Salim itu juga turut dihadiri Grombolan Muhammadiyah Djatisari, R. M. Hadikoesoema dari Bandjarsari, dan Soeleman wakil Kyai Komar.
Para pengurus awal Muhammadiyah Madiun sebetulnya mengirim permintaan supaya Hadji Fachrodin bisa datang ke Madiun. Tapi karena Hadji Fachrodin sedang sakit, ia berhalangan hadir. Pengurus Muhammadiyah Madiun saat itu akhirnya terbentuk.
Susunan pengurus yang terhimpun dalam buku yang berjudul Verslag Moehammadijah Madioen Sedjak Berdirinya adalah: A. R. C. Salim selaku Voorzitter (ketua), R. Joedodikoesoemo sebagai Vice Voorzitter (wakil ketua), Abdullah Fakih sebagai Secretaris, R.M. Prawirosoedirdjo sebagai 2e. Secretaris, R. Prawirodimoeljo sebagai Penningmeester (bendahara), dan empat orang selaku Commissarissen yakni M. Soehardi, M. Sastrosoetomo, M. Notoprajitno, dan M. Hardjowirjono.
60 Anggota Komunis Gabung Muhammadiyah
Tanggal 21 September tahun 1924, pengurus Muhammadiyah Madiun mengadakan pertemuan umum, mirip dengan pengajian atau tabligh terbuka. Mereka berhasil mendatangkan perwakilan Hoofdbestuur, yakni M. Ng. Djojosoegito, Hadji Soedja’, dan Joenoes Anis.
Pengajian umum ini juga dihadiri oleh pengurus Partai Komunis Madiun. Mereka turut serta dalam pengajian dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis soal agama yang memicu diskusi menarik.
Setelah dijawab dan menemukan kemantapan hati, sebanyak 60 orang berhasil direkrut bergabung dengan Muhammadiyah Cabang Madiun. Hal lain juga dikarenakan figur Sang Ketua: A.R.C. Salim, ia merupakan pemimpin dan figur seorang pengurus Muhammadiyah yang loyal terhadap perkembangan organisasi dan misi keagamaan.
Dalam hidupnya, dia menyerahkan 50% hasil lelang barang-barangnya agar pengurus Muhammadiyah Madiun segera melakukan pembentukan Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah. Kegiatan-kegiatan awal organisasi bertumpu di rumah Salim.
Bukan hanya sebagai kantor sementara Muhammadiyah, rumah Salim juga menjadi pusat kegiatan pengajian keagamaan (sesorah igama) yang diadakan setidaknya dua minggu sekali. Seiring dengan bertambahnya anggota dan jamaah pengajian, kegiatan mulai dipindahkan ke masjid. Organisasi ‘Aisyiyah juga mulai terbentuk pada pertengahan bulan November.
Penulis: Teguh Imami
Muhammadiyah Pesisir: Masa Perintisan Berdirinya Muhammadiyah di Lamongan
Desa Blimbing merupakan sebuah perkampungan nelayan yang terletak di pesisir utara Lamongan, masuk kawasan Kecamatan Paciran. Desa ini memiliki nuansa keislaman yang sangat kental berkat dakwah yang dilakukan para ulama’.
H. Sa’dullah menjadi pencetus awal gerakan Muhammadiyah di kawasan ini pada tahun 1936. Sejauh ini, belum banyak tulisan yang menerangkan bagaimana Muhammadiyah bisa tumbuh dan berkembang di Desa Blimbing. Hanya sumber-sumber lisan yang menjadi dasar dalam penelusuran sejarah berdirinya Muhammadiyah di Kabupaten Lamongan.
H. Sa’dullah tidak sendiri dalam menyebarkan dakwahnya. Di kawasan Paciran yang lain, yakni Desa Tunggul terdapat dakwah yang dilakukan oleh K.H. Mohammad MAmin Musthofa yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tunggul. Berkat dakwah yang digencarkan oleh H. Sa’dullah maupun K.H. Mohammad Amin Musthofa, Muhammadiyah secara resmi berdiri di Kabupaten Lamongan pada tahun 1953.
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah di Lamongan, gerakannya cenderung berfokus pada pendidikan. Dakwah Muhammadiyah yang pada awalnya tersebar di kawasan Paciran saja, mulai menyebar ke Kecamatan lain seperti Sukodadi, Tikung, deket, dan Sekaran.
Dakwah yang dilakukan di beberapa Kecamatan tersebut berjalan mulus pada awalnya. Ini karena para penyebarnya merupakan tokoh agama yang juga berlatar belakang Nahdlatul Ulama’. Kondisi ini berubah setelah Partai Masyumi bubar pada tahun 1960, yang menjadikan para nggotanya merembet ke Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Masalah baru muncul setelah tahun 1960, yakni adanya reaksi keras oleh beberapa kelompok masyarakat yang berpaham agama tertentu. Reaksi ini berhubungan erat dengan masalah furu’iyah yang menjadikan umat terpecah belah, sehingga di beberapa desa di Kecamatan Sukodadi dan Pucuk berdiri dua masjid. Yakni masjid desa dan masjid milik Muhammadiyah.
Pada tahun 1967, Muhammadiyah di Lamongan resmi berstatus Daerah dengan lima cabang, yakni Lamongan, Babat, Glagah (Jatisari), Pangkatrejo, dan Blimbing. Sebelumnya, Muhammadiyah Lamongan tergabung dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bojonegoro.
Penyebaran Muhammadiyah di Lamongan
Berkat dakwah pertama yang dicanangkan oleh H. Sa’dullah, Perkembangan Muhammadiyah di Lamongan semakin masif pasca tahun 1967. Cabang Blimbing yang awalnya menjadi basis pertama penyebaran Muhammadiyah di Lamongan dengan menaungi ranting Paciran dan ranting Brondong, berganti menjadi Cabang Paciran dan telah memiliki ranting di semua desa dalam wilayahnya.
Blimbing yang diibaratkan sebagai ibukota bagi Lamongan pesisir karena perkembangan masyarakatnya yang signifikan, menjadikan Muhammadiyah dapat berkembang dengan baik di sana. Ranting Brondong kemudian berkembang menjadi Cabang Brondong dan juga memiliki ranting di semua desanya.
Selain Pimpinan Cabang Muhammadiyah Blimbing yang diubah menjadi PCM Paciran dan PCM Brondong, terdapat juga perubahan pada PCM Janti yang berganti menjadi PCM Glagah dan PCM Karangbinangun. Sedangkan untuk PCM Panglatrejo belum diubah menjadi PCM Sekarang
Dengan perkembangan yang sangat pesat ini, terpilihlah K.H. Abdurrahman Syamsuri sebagai ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan pada tahun 1978. Kepemimpinan beliau juga sudah dibantu oleh badan pembantu pimpinan seperti Majelis Pendidikan dan Kebudayaan, Pustaka, PKU, Tabligh, Tarjih, Wakaf, Pengkaderan, BPK AMM, serta pembina karyawan.
Perkembangan Muhammadiyah di Lamongan Pasca Perintisan
Muhammadiyah di kawasan Lamongan yang pada awalnya berpusat di kawasan Blimbing dan semakin berkembang dan berdiri cabang lain seperti Pangkatrejo, Janti, dan Babat. Setelah diadakan Musyawarah Daerah (Musyda) tahun 1978 dengan dipilihnya K.H. Abdurrahman dan dibentuk badan pembantu, amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah Lamongan semakin berkembang pesat meliputi kesehatan, sosial, pendidikan, serta ibadah.
Persebaran Muhammadiyah di Lamongan terbilang cukup cepat dengan terdaftarnya 27 cabang di tiap kecamatan, dan terdaftar juga 376 ranting. Cabang Paciran yang menjadi tonggak awal perjalanan Muhammadiyah Lamongan terdaftar kini memiliki 22 ranting, yang sebelumnya hanya berpusat di kawasan Blimbing dan Brondong.
Amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah ini tersebar di berbagai cabang dan ranting. Dalam bidang pendidikan saja dari tingkat taman kanak-kanak yang dibina oleh Aisyiyah hingga perguruan tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Lamongan, Institut Teknologi dan Bisnis K.H. Ahmad Dahlan, STIT Muhammadiyah dan STAIM Paciran. Untuk pendidikan dasar dan menengah, terdaftar ada SD 14 buah, MIM 105 buah, SMP 29 buah, MTs 29 buah, MA 11 buah, SMA 11 buah, dan SMK 13 buah yang tersebar di berbagai cabang dan ranting. Selain pendidikan formal tersebut, ada beberapa pondok pesantren yang juga berafiliasi di bawah naungan Muhammadiyah.
Dalam bidang sosial sendiri, Muhammadiyah dan Aisyiyah Lamongan berhasil mendirikan panti asuhan di Lamongan, Babat, dan Paciran. Selain panti asuhan, Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (LAZISMU) juga berperan penting dalam memberikan bantuan sosial pada orang yang membutuhkan dan menjadi wadah bagi penyaluran zakat, infaq, dan shadaqah.
Bidang kesehatan menjadikan Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan sebagai landmark kemajuan bidang kesehatan yang dimiliki Muhammadiyah di Lamongan. Rumah sakit ini dibangun sejak 1968, dengan bentuk awalnya yang berupa klinik BAKIS (Balai Kesehatan Umat). H. Usman Dimyati menjadi sosok penting dalam perkembangan rumah sakit Muhammadiyah ini. Karena berkat hibah tanah dari beliau, menjadikan Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan semakin besar dan resmi menjadi sebuah rumah sakit pada tahun 1997 dengan diresmikan oleh Menteri Koordinator Kezra Azar Anas.
Untuk bidang dakwah, sudah sangat menjamur masjid dan mushola di tiap ranting yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Masjid dan mushola ini dipergunakan oleh umat sebagai tempat ibadah, pusat dakwah, maupun kegiatan sosial. Amal usaha yang didirikan oleh Muhammadiyah di kawasan Lamongan ini diharapkan menjadi media kesejahteraan umat, serta menjadi pembawa tajdid atau modernisasi bagi umat Islam terutama di kawasan pedesaan yang terkadang masih kental dengan kesyirikan, bid’ah, dan khurafat.
Dari Sosial ke Penyebaran Paham: Perjalanan Muhammadiyah di Bojonegoro
Muhammadiyah di Bojonegoro berkembang dari arah timur, yakni kawasan Sumberejo pada tahun 1947 melalui kegiatan santunan anak yatim yang menjadi embrio berdirinya panti asuhan Muhammadiyah di kawasan tersebut. Tokoh-tokoh yang memiiki andil dalam kegiatan ini ada H. Sahlan, H. Basuni, Subkhi Ali, H. Abdullah Siddiq, H. Abdullah Hamid, H. Nurhadi, H. Slamet, H. Thohir, dan didukung oleh generasi muda yakni Jaelan, Helmi, dan Maksum.
Keberadaan Muhammadiyah di Sumberejo sangat krusial dalam penyebaran gerakan Muhammadiyah di kawasan lain di Bojonegoro, sebut saja pada tahun 1953 mulai muncul gerakan modernis di kawasan Sukosewu, lebih tepatnya di dukuh Sepat dan dukuh Mojoroto, Desa Duyungan (Dahulu termasuk Kecamatan Kapas). Modernisasi ini dikenalkan oleh Edris dan kemudian diteruskan oleh Nursalim. Meski demikian, Muhammadiyah Cabang Sukosewu baru resmi berdiri pada tahun 2001 dengan ketuanya yakni Ridwan, S.Ag. dan dibantu oleh Sudarko A.Ma.
Secara organisasi, Muhammadiyah di Bojonegoro awalnya berbentuk pimpinan cabang sebagai bagian dari wilayah kerja kerasidenan yang meliputi wilayah Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan. Namun, melalui santunan anak yatim dan acara khitanan di kawasan Sumberejo sebagaimana disebutkan di awal menjadikan berdirinya gerakan Muhammadiyah di kawasan Sumberejo yang diprakarsai oleh Mashudi yang merupakan pemuda asli Bojonegoro. Pada tahun tersebut juga didirikan Madrasah Ibtidaiyah di kawasan Sumberejo dan Kapas. Mashudi pernah aktif dalam kegiatan kepanduan HW di Palembang dan menjadi anggota KNI Pusat, serta anggota konstituante.
Pada tahun 1950, Mashudi pindah dari Sumberejo ke Kota Bojonegoro dan mendirikan taman kanak-kanak (Frobel School) yang terletak di Jl. Kudusan (kini letaknya di barat Markas Kepolisian Wilayah (Mapolwil) Bojonegoro). Beliau mendirikan sekolah ini dibantu oleh tokoh lain seperti Permadi Permodiharjo, Sukarno (Yang biasa dijuluki Pak Karno Mujaer), Abu Arifiani (Direktur PGAP Negeri), Abdurrahim, Abdulfatah dan guru-guru PGAP Negeri seperti Said Marzuq, Wajihuddin, dan Damiri. Pada kisaran tahun yang sama juga didirikan SD Muhammadiyah di beberapa kecamatan seperti Sumberejo, Kapas, Kedungadem, Sugihwaras, dan Bojonegoro. Di tahun ini juga Muhammadiyah Bojonegoro secara resmi berbentuk organisasi.
Pada tahun 1962-1970, terdapat kader HW yang bernama Tamsyi Tedjo Sasmito yang menjabat sebagai Bupati Bojonegoro. Dia memberikan dorongan, peluang, dan bantuan bagi pengembangan Muhammadiyah di Bojonegoro. Tamsyi Tedjo menjabat sebagai bupati sejak tahun 1960 sampai dengan 1968. Dalam masa kepemimpinannya, disebutkan oleh Hasan Anwar “Tamsy Tedjo Sasmito mempunyai pendirian teguh. Tidak ingin mencampurkan kepentingan organisasi dan kepentingan pemerintah”. Masa kepemimpinan Tamsy Tedjo sebagai bupati berbarengan dengan periode kepemimpinan Mashudi dan Abu Arifaini. Setelah menjadi bupati hingga tahun 1968, Tamsy Tedjo dilirik oleh pimpinan di Jatim dan diangkat sebagai residen atau pembantu gubernur saat itu. Meski menjadi seorang Residen, Tamsy Tedjo tetaap tinggal di kawasan Bojonegoro Kota. Lebih tepatnya di kawasan selatan alun-alun.
Pada tahun 1965, lebih tepatnya pada masa kepemimpinan Machfud Muharrom, aktivitas Muhammadiyah masih berjalan dari rumah ke rumah karena belum memiliki kantor tetap. Akan tetapi, secara keorganisasian dan lembaga sudah berjalan dengan baik, ditunjukkan dengan mulai banyaknya cabang yang berdiri di berbagai kawasan seperti Sumberejo, Kapas, Balen, Sugihwaras, Baureno, Kanor, maupun Bojonegoro. Kegiatan yang dilaksanakan tidak jauh dari pengajian yang mengajarkan keteladanan pada Rasulullah SAW. Dan persatuan dalam menjalankan syariat Islam. Dalam pelaksanaan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha di lapangan seperti yang dilaksanakan di Jl. Teuku Umar tetap brlanjut bahkan hingga kini, meskipun yang dilaksanakan di alun-alun tidak berlanjut karena kurangnya kader yang memberikan pengawasan maupun yang memprakarsai.
Pada periode A. Hazim Amin (1978-1981), dibentuk beberapa Majelis seperti Majelis Tabligh, Majelis Pendidikan dan Pengajaran, Pembina Kesejahteraan Umat, dan Wakaf. Kala itu sudah berdiri 11 ranting yakni Bojonegoro Kota, Baureno, Sumberejo, Kanor, Kedungadem, Sugihwaras, Balen, Kapas, Kalitidu, Padangan, dan Ngraho. Konsolidasi organisasi terus dilakukan untuk menggelorakan semangat organisasi dan ghirah perjuangan. Berbagai kegiatan untuk membina SDM dilakukan seperti pembinaan internal maupun mengirim utusan keluar, seperti mengikuti pengkaderan di Gresik. Yang mengikuti kegiatan ini ada Kasnari, Sunhad, Suryanto (Balen), Alim Salamun (Kapas), dan Sutarjo (Kedungadem).
Pada periode A. Kasnari Hadi Santoso (1985-2000) dilakukan langkah konsolidasi kelembagaan dan kepemimpinan secara cepat, dikarenakan persyarikatan Muhammadiyah Bojonegoro mulai membutuhkan perhatian dan pengabdian yang serius, sementara jumlah amal usaha yang dimiliki juga semakin berkembang baik secara kualitas maupun kuantitas.
Periode Sjarwani Ihsan (2001-2005) menjadi masa yang cukup penting, karena amal usaha yang dimiliki sudah mulai banyak bertebaran. Sebut saja SPBU Syirkah Amanah dan pemancar radio Swara Madani FM berdiri. Pada masa kepemimpinan beliau, dimulai dengan melembagakan visi dan misi Muhammadiyah sebagai perwujudan penerapan agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk perkembangan cabang dan rantingnya sendiri, hingga tahun 2002 tercatat ada 15 cabang (3 dalam proses), dan 121 ranting. Cabang Bojonegoro kota sendiri didirikan oleh Mashudi (Mantan pengurus Masyumi, anggota DPRD Bojonegoro) pada 1963. Hingga tahun 2005, PCM Bojonegoro Kota sudah memiliki 14 ranting.
Persebaran Cabang Muhammadiyah Di Bojonegoro
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Muhammadiyah kawasan Bojonegoro pertama kali berdiri di Sumberejo pada tahun 1947 dan menyebar ke wilayah lain seperti Kapas pada tahun 1959. Kawasan Kapas sendiri lebih tepatnya mulai terdapat dakwah Muhammadiyah di Desa Duyungan yang kini masuk Kecamatan Sukosewu. Dakwahnya dilakukan oleh Kyai Nursalim.
Tokoh lain yang ikut membantu perkembangan Muhammadiyah di sini adalah Mashudi, Mahfud Muharrom, dan SU. Bajasut. Topik dakwah utama yang dibawa oleh mereka adalah pemurnian tauhid dan upaya memerangi TBC (Tahayyul, Bid’ah, dan Churafat). Kawasan Kapas kini memiliki 4 ranting yakni Semenpinggir, Plesungan, Kedaton, dan Kapas.
Untuk Kecamatan Sukosewu, sebagaimana disebutkan bahwa paham modernisasi mulai masuk tahun 1953, yang mendorong berdirinya ranting-ranting Muhammadiyah di Sukosewu, Duyungan, Klepek, Semenkidul, Jumput, Pacing dan Sidodadi. Selain Sidodadi, semua ranting tersebut sudah memiliki amal usaha serta sudah diadakan pengajian rutin baik di masjid maupun bergantian di rumah pimpinan.
Di akhir tahun 50-an, yakni pada tahun 1959 Muhammadiyah masuk ke Kedungadem disebarkan oleh Suparto yang merupakan pegawai pengadilan yang berdiam di Kecamatan Kedungadem. Untuk penyebaran ke tiap ranting, beliau dibantu oleh Moh. Hazim, Ngabdan, dan H. Ya’kub. Metode dakwah yang digunakan tidak jauh dari pengajian dan khutbah Jum’at. Beberapa tahun kemudian, yakni pada tahun 1963 Muhammadiyah masuk ke Desa Sugihwaras dan Desa Bareng dibawakan oleh H. Ahmad Dahlan Nur dengan mendirikan madrasah yang bertujuan mempengaruhi pola pikir masyarakat sekitar. Pada tahun 1965, Muhammadiyah Sugihwaras secara resmi berstatus Cabang disahkan oleh PP Muhammadiyah.
Setahun setelah pengesahan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sugihwaras, disahkan juga Muhammadiyah Cabang Kanor. Proses masuknya Muhammadiyah di Kanor tidak lepas juga dari peran Mashudi.
Pengenalan paham ini berjalan dengan lancar baik melalui hubungan kekerabatan maupun faktor interaksi dan hubungan kolegial. Tokoh lain yang punya andil dalam penyebaran Muhammadiyah di Kanor ada Jayusman (Jumo-Samberan), Munasir (Palembon), Danang Siswo Sudarmo ( Leran-Palembon), Kanapi Budi Maskidin (Sedeng), Ahyar (Simbatan), Dimhari (Pesen), Sumadi (Tejo) Talhah (Sarangan), Mahbub, Mashuri, Pasiran (Cangaan), Kasdan, Kuntari (Piyak), Kabul, K. Sulaiman (Tambakrejo), Subari (Pilang), Maskur, dan Kasdiran (Mejaeng-Bakung).
Sebagian tokoh perintis Muhammadiyah di Kanor merupakan PNS. Ketika ada kebijakan monoloyalitas, pada tahun 1971-1976 PCM Kanor nyaris tidaak ada kegiatan. Di tengah kegalauan tersebut muncul tokoh penggerak yakni Sa’adullah Sudarto, Abdul Wahab, Mulyono AR dan Syafi’i Huda. Mereka bersemboyan “Bendera boleh tidak berkibar, namun semangat dan ideologi harus tetap berkobar”. Dengan adanya penggerak ini, PCM Kanor akhirnya dapat terus berjalan sesuai dengan kemampuannya.
Paham Muhammadiyah masuk ke Kepohbaru takm lepas dari bubarnya Masyumi. Banyak aktivis Masyumi yang akhirnya terjun ke dunia pendidikan. Sebelumnya, guru-guru yang berasal dari Yogyakarta tahun 1959 telah mendirikan Madrasah Muhammadiyah dan kepanduan HW di Desa Mudung. Salah satu yang terkenal adalah Sumaryono yang berasal dari Klaten. Paham Muhammadiyah sendiri mulai diperkenalkan oleh Kyai Toha dari Desa Mudung, H. Darmin dan K. Toha dari Desa Sumberagung. Pada tahun 1970-an Muhammadiyah Kepohbaru masih tergabung dengan Cabang Baureno yang diketuai Israwan dari Gunungsari. Pada masa orde baru, tidak sedikit sekolah Muhammadiyah diambil alih oleh GUPPI yang menjadikan gerakan Muhammadiyah meredup. Namun pada tahun 1980-an beberapa madrasah tersebut mulai bergerak lagi. Pada tahun 1991, Muhammadiyah Kepohbaru memisahkan diri dari Cabang Baureno dan membentuk cabang sendiri, dengan ketuanya yakni Ngadino dari Desa Mudung.
Akhir era 90-an, lebih tepatnya pada 6 April 1999 M/ 19 Dzulhijjah 1919 H, Pimpinan Muhammadiyah Cabang Gondang berdiri. Sebelumnya Cabang Gondang masuk ke Cabang Bubulan. Cabang baru ini disebabkan karena Gondang sendiri merupakan kecamatan baru, sehingga statusnya naik menjadi pimpinan cabang. Pendirinya yakni Drs. H. Muslih Al-Ghomni yang merupakan guru di SDN Desa Pajeng. Selama 12 tahun, beliau berdakwah dengan metode Muhammadiyah. Tokoh lain yang berperan dalam pengembangan Cabang Gondang yakni Drs. Moh. Mun’im, seorang pengawas PLKB wilayah Bubulan dan Gondang.
Embrio Muhammadiyah di Tuban
Tuban merupakan kabupaten yang sarat akan agama Islam. Ini disebabkan oleh adanya penyebaran Islam yang dibawa oleh para ulama’, seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang berdakwah di wilayah Tuban. Pada masa Hindia Belanda, pengaruh Islam di Tuban masih sangat terasa. Mendukung hal tersebut, berdirilah gerakan Muhammadiyah di kawasan Tuban pada tahun 1933.
Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting PWM Jawa Timur yakni Nugraha Hadi Kusuma pernah memaparkan dalam silaturrahim PDM Tuban tahun 2018. Beliau mengatakan bahwa “Muhammadiyah di Tuban berdiri lebih dulu dua tahun sebelum saudara kita, yakni Nahdlatul Ulama”. Nahdlatul ulama’ baru berdiri di kawasan Tuban pada tahun 1935. Hal ini juga disebabkan adanya larangan oleh Kiai Murtadlo agar Nahdlatul Ulama’ tidak mendirikan gerakan di kawasan Tuban dalam bentuk struktural saat itu.
Gerakan Muhammadiyah di Tuban dirintis oleh Umar Saleh Bayazud dan Ustadz Misbah. Peran Kiai Murtadlo yang juga merupakan salah satu kerabat K.H. Ahmad Dahlan yang juga menjadi pengasuh Pesantren As-Shomadiyah untuk menjaga keseimbangan antara gerakan Muhammadiyah dan Nahldatul Ulama’ di Tuban agar tidak terjadi perpecahan, dengan melarang gerakan Nahlatul Ulama’ membentuk sistem pengurusan. Alasannya adalah karena saat itu Masjid Agung Tuban sedang dalam binaan Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama’ baru resmi berdiri pada tahun 1945.
Setelah tahun 1950, Muhammadiyah di Tuban mengalami pergantian pengurus disebabkan adanya pemindahan dinas maupun kepentingan keluarga. Salah satunya adalah Umar Sholeh Bayazud yang diangkat menjadi pegawai Departemen Agama dan dipindahtugaskan di Bojonegoro. Setelah tahun-tahun tersebut, Muhammadiyah di Tuban mengalami beberapa pergantian pengurus baik dari gerakan Muhammadiyah sendiri, ‘Aisyiyah, maupun Pemuda Muhammadiyah. Peristiwa penting terjadi pada tahun 1977, yang mana kala itu Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tuban yang diketuai oleh Mahbub Ihsan dituduh terlibat gerakan “komando jihad”.
Meski pada akhirnya bebas pada tahun 1978, namun tuduhan tersebut berpengaruh terhadap kepengurusan Muhammadiyah di Tuban yang mengakibatkan K.H. Syukran Nachrawi yang sebelumnya menjabat sebagai wakil ketua, ditetapkan sebagai PLH Ketua. Pada tahun 1981, tampuk kepemimpinan Muhammadiyah Tuban diketuai oleh Abdul Syukur, BA. Dan diwakili oleh K.H. Syukran Nachrawi. Pada Musyda tahun 1985, Mahbub Ishan kembali terpilih sebagai Pimpinan Daerah Muhammadiyah hingga tahun 2000. Pada tahun tersebut, Muhammadiyah di Tuban sudah menjangkau kawasan Bancar, Jenu, Palang, Kerek, Rengel, hingga Sidomukti.
Perintisan Muhammadiyah Di Kawasan Tuban
Masuknya Muhammadiyah di kawasan Tuban tidak secara langsung, tetapi secara bertahap dari desa ke desa, atau kecamatan ke kecamatan. Sebut saja seperti kawasan Bancar yang mana Muhammadiyah masuk ke sana pada tahun 1958 dengan dipelopori oleh H. Bisri. Namun, cabangnya secara resmi baru berdiri pada 1968 dengan nama Muhammadiyah Cabang Bulu. Meski awalnya mendapat tentangan keras oleh masyarakat, namun pemerintah setempat lebih cenderung menghormati keberadaan Muhammadiyah. Penyebarannya sendiri melalui kajian-kajian, dan kini sudah berdiri delapan ranting di Cabang Bulu.
Untuk kawasan Palang, Muhammadiyah mulai masuk pada tahun 1958, dikenalkan oleh H. Anan Nawawi melalui pengajian yang menghadirkan tema aqidah, akhlaq, dan ibadah syaariah. Tantangan juga datang pada proses masuknya Muhammadiyah di Palang, terutama oleh golongan tradisionalis dan golongan PKI yang menentang masuknya ajaran agama. Di tahun yang sama, Muhammadiyah masuk ke Tambakboyo melalui pengajian yang dilakukan oleh H. Abdullah, Syamsul Huda, dan Siti Syamsiyah yang memperkenalkan Aisyiyah. Kawasan Tambakboyo sendiri baru terbentuk susunan organisasinya pada tahun 1960 dengan H. Abdullah sebagai ketua, Zulkarnaen sebagai sekretaris, Biro dan Gami sebagai bendahara, dan Syamsul Huda sebagai anggotanya.
Sebagaimana penyebaran yang dilakukan di Palang maupun Bancar, masyarakat menentang dakwah yang dilakukan Muhammadiyah di kawasan Tambakboyo. Ini dikarenakan masyarakat menganggap dakwah Muhammadiyah di kawasan tersebut memuat unsur politik.
Pada tahun 1962, Muhammadiyah masuk ke Kerek melalui Desa Margomulyo dengan dakwah yang dibawa oleh H. Fathurrohman pada pengajian-pengajian. Menyusul pada tahun 1965, Rengel menjadi tempat yang mendapatkan dakwah Muhammadiyah melalui Desa Punggulrejo yang dibawa oleh Abu Nazaruddin dan Kyai Sholihun. Gerakan awal yang dilakukan oleh mereka adalah membentuk organisasi kepemudaan bernama “Melati” yang bergerak pada bidang sosial maupun olahraga, sehingga mendapatkan penerimaan dan antusiasme dari masyarakat. Gerakan Muhammadiyah di kawasan Rengel pada awalnya berjalan lancar, meski sepuluh tahun kemudian mulai mengalami kebuntuan hingga pada tahun 2004 terdapat 7 ranting yang berdiri di kawasan Rengel.
Pada tahun 1964, Muhammadiyah masuk ke kawasan Merakurak oleh Masqudi NS, Anwar, dan Abdul Kholik. Periode pertama pengurusannya diketuai oleh H. Rosjidi, Masduqi NS sebagai sekretaris, H. Majhuri sebagai bendahara, dan H. Muchtar sebagai wakil bendahara. Penyebaran Muhammadiyah di kawasan Tuban dilakukan dengan memperkenalkan pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam, dan mendapat sambutan oleh masyarakat pasca trauma yang disebabkan oleh insiden G30S/PKI pada tahun 1965.
Tahun 1968, Muhammadiyah masuk ke Desa Sidomukti Kenduruan dan diperkenalkan oleh H. Mudaed melalui pengajian aqidah dan akhlak yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Pertumbuhan Muhammadiyah di kawasan ini relatif lamban, karena kepengurusannya sendiri baru terbentuk pada tahun 1970. Bahkan, pada tahun 2004 baru berdiri 3 ranting di kawasan tersebut.
Muhammadiyah di Tuban pada awalnya hanya berupa pimpinan cabang, namun statusnya naik menjadi daerah pada tahun 1976. Pada saat yang sama, cabang Tuban Kota dipimpin oleh Fatah Nawawi. Sedangkan untuk Pemuda Muhammadiyah Cababf dipimpin oleh Amin Fatah. Yang mana Amin bersama kawan-kawan mendirikan Tapak Suci dan drum band Pemuda Muhammadiyah yang mengalami masa kejayaannya di era 80-an.
Kawasan Jenu mulai mendapatkan dakwah dari Muhammadiyah pada tahun 1987 melalui pengajian yang dilaksanakan oleh Achmad Rais, Achmad Rifa’i, Kusnan, dan Zaenal Ma’ruf. Mendekati tahun 2000-an, lebih tepatnya pada tahun 1991, Muhammadiyah masuk ke Bangilan melalui Desa Ngrojo dengan dakwah yang dilakukan oleh H. Moetomo dan Drs. Juwari. Melalui dakwah ini, terdapat 3 ranting yang berdiri di kawasan tersebut. Pada tahun 1994, Muhammadiyah masuk ke Desa Kowang, Semanding dengan Mahmud sebagai pelopornya. Kegiatan yang dilakukan lebih ke arah kegiatan keagamaan secara internal seperti pengajian pimpinan dan anggota. Sudah berdiri 6 ranting di kawasan Semanding hingga tahun 2004. Untuk Desa Plumpang dan Kesamben, sudah berdiri 3 ranting. Yakni Plumpang, Kebomlati, dan Trutup. Di kawasan tersebut Muhammadiyah diperkenalkan oleh Drs. Anwar.
Berdirinya Muhammadiyah di Nganjuk: Pelopor Modernisasi dengan Aksi
Seorang pendatang menyebarkan paham Muhammadiyah dan diterima oleh Gondoseputro, Sosroburoto, R. Maryotudo, R. Marjunani, Atmohartono, Amatzarkoni, Moh. Dariri, Suharto, dan Pawirojo. Pendatang tersebut bernama R. Sastrosudirjo, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya gerakan Muhammadiyah di Nganjuk.
Tidak ada catatan pasti kapan Muhammadiyah Nganjuk berdiri, tetapi tercatat dalam majalah Suara Muhammadiyah pada tahun 1933 bahwa Muhammadiyah Nganjuk berstatus bakal ranting. Baru pada rentang tahun 1939-1940 Muhammadiyah Nganjuk berstatus cabang di bawah naungan daerah Kediri.
Setelah kemerdekaan, Muhammadiyah Nganjuk memunculkan perubahan semangat. Dari yang awalnya semangat membangun masyarakat, menjadi semangat untuk melepaskan diri dari penjajah. Muhammadiyah Nganjuk pada awalnya diketuai oleh Sastrosudirjo yang kemudian dilanjutkan oleh Soeradi. Pada masa kepemimpinan Soeradi tersebut tidak berubah hingga tahun 1950. Di masa kepemimpinannya, terdapat peristiwa yang cukup membanggakan yakni keberhasilan gerakan Muhammadiyah untuk mempertahankan sekolah Muhammadiyah dari perampasan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Namun, pada masa agresi Belanda gedung tersebut harus direlakan sebagai markas tentara.
Bangkit setelah stagnan
Muhammadiyah di Nganjuk sempat mengalami stagnan setelah tahun 1950. Baru pada tahun 1956, yakni pada masa kepemimpinan H. Mawardi dan dibantu dengan Isma’il dilakukan penyempurnaan pimpinan dan penggalangan dana untuk mulai mengaktifkan kegiatan.
Ahmad Hasjim memiliki peran penting dalam perkembangan Muhammadiyah Nganjuk. Berkat jaringan yang ia miliki, Nganjuk memperoleh perhatian dari lembaga-lembaga dakwah Islam yang ada di Yogyakarta. Masjid Sjuhada Yogyakarta yang kala itu memiliki tim dakwah kondang, mengirimkan tim dakwahnya ke Nganjuk. Demikian juga dengan Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) HMI yang mengirimkan tim dokter ke Muhammadiyah Nganjuk untuk melakukan pengabdian masyarakat. PDM Nganjuk akhirnya menyebarkan tim tadi kepada cabang-cabang yang memerlukan serta ke daerah yang terkena bencana banjir. Selain sebagai kebanggan warga Muhammadiyah Nganjuk, namun keberadaan tim tersebut juga mengundang decak kagum dari pihak luar Muhammadiyah. Orang akhirnya mengenal Muhammadiyah sebagai organisasi modern karena saat itu belum ada organisasi lain yang mampu melakukan hal serupa.
Meski ada stigma buruk yang ditujukan kepada Muhammadiyah, terdapat hal-hal positif yang menggembirakan di masa-masa sulit. Secara obyektif, masyarakat memandang Muhammadiyah sebagai kelompok yang berpemikiran modern.
Kelompok-kelompok dari luar Muhammadiyah juga menaruh hormat kepada Muhammadiyah karena amal usahanya terus bergerak dan berkembang. Pada kurun tahun 1963-1965, Majelis Dakwah mendatangkan LDMI (Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam) Yogyakarta yang disebarkan ke seluruh cabang. Bahkan Majelis PKU mempelopori Pusat Kesehatan Masyarakat di pelosok pedesaan.
Puskesmas pada tahun 1960-an lebih dikenal sebagai “klinik” oleh Muhammadiyah dan didirikan di Desa Kecubung, Kecamatan Pace yang berjarak 10 KM di selatan Nganjuk. Pendirian klinik atau Puskesmas tersebut jika diukur dengan perkembangan sosial waktu itu, dapat dikatakan telah mendahului zamannya. Bahkan lembaga lain atau pemerintah saja belum ada yang memikirkan apalagi memecahkan masalah tersebut.
Persebaran Muhammadiyah Nganjuk
Alur masuknya Muhammadiyah di kawasan Nganjuk menyebar secara bertahap. Sastrosudirjo yang sudah berperan besar dengan mengenalkan Muhammadiyah di kawasan Nganjuk pada tahun 1930-an, semakin berkembang ke kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Nganjuk.
Perkembangan masif gerakan Muhammadiyah Nganjuk semakin tampak pada kurun waktu tahun 1950-an, seperti tercatat bahwa pada tahun 1950, Muhammadiyah sudah eksis di Bagor. Gerakan Muhammadiyah Bagor dirintis oleh orang-orang Masyumi yang melakukan pengajian keliling di kediaman salah satu warga senior Muhammadiyah di Bagor pada kurun waktu tahun 1965 sampai 1970. Namun, Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bagor mulai terkonsolidasi secara teratur dan dapat dibentuk kepengurusannya pada tahun 1987.
Pada periode 1987-1995, susunan kepengurusan Muhammadiyah Bagor yakni Danu Sunarto sebagai ketua, Muhajir sebagai sekretaris, Sugeng sebagai bendahara, dan M. Ridwan sebagai penasihat.
PCM Gondang berdiri pada tahun 1953 yang dirintis oleh Tamsirni, Achmad Zaini, Syamsuri, Imam Mukmin, Muhyi, Sukardi dan Fauzan. Untuk kepengurusannya, terbentuk pada tahun 1986 dan dipimpin oleh Nurhadi, dibantu oleh Tamsirni sebagai wakil, Mas’ud MR. dan Sumarno sebagai sekretaris, A. Zaini dan Sukarno sebagai bendahara, dan anggotanya yakni Suratman, Bb. Prihartadi, M. Slamet, dan Suharyanto.
Gerakan Muhammadiyah di Kertosono bermula dari adanya kelompok pemikiran pembaruan Islam yang bergabung dalam Islamic Study Club (ISC) yang dipelopori oleh A. Qoyyum, Sumali, Sofyan, dan kawan-kawan pada tahun 1959 sebagaimana anjuran Ustadz Bey Arifin. Baru pada tahun 1961, Muhyidin dari Sleman memperkenalkan adanya gerakan Muhammadiyah. Ranting Kertosono sendiri terbentuk pada tahun 1964, dan pada tahun yang sama lebih tepatnya pada 13 Mei 1964 Muhammadiyah Kertosono resmi berstatus cabang dengan ketuanya yakni Zuhron. Dalam usaha perluasan amal usahanya, PCM Kertosono membeli lahan dan bangunan Gereja Kristen Protestan milik Yayasan Eben Heizer pada tahun 1988, dan membeli YPPPK Petra Kertosono pada tahun 1993. Ranting-ranting yang dimiliki oleh PCM Kertosono antara lain Ranting Kutorejo, Bangsri, Banaran, Pelem, Kalianyar, Nglawak, dan Pandantoyo. Organisasi otonom yang terbentuk ada ‘Aisyiyah (1963), Pemuda Muhammadiyah (1968), NA (1976), Tapak Suci (1973), dan IRM (1996).
PCM Patianrowo berdiri pada tahun 1966 dengan ketuanya yakni Drs. Zawawi. Setahun kemudian berdiri PCM Baron yang dipelopori oleh Mughni (Kepala KUA), Muchid, Ihsan Wanandi, Suparmin HS, Sugiarto, Suwarto, BA, Hasan Bisri, dan Slamet Anwar Haryono. Berdirinya Muhammadiyah cabang Baron mendapat dukungan dari Wedana Kertosono yang juga merupakan aktivis Muhammadiyah di tahun 1960-an. Hingga tahun 2004, sudah ada 5 ranting yang dimiliki oleh Muhammadiyah Cabang Baron yakni Jekek, Katerban, Sambiroto, dan Waung.
Muhammadiyah dalam Peristiwa 10 November
Hari ini masyarakat Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan yang tepat pada hari Jum’at 10 November 2023. Hari di mana, 78 tahun lalu, arek-arek Suroboyo, masyarakat Jawa Timur, dan seluruh elemen masyarakat berbondong-bondong dengan segala daya mengusir penjajah dari Surabaya.
Perisitiwa heroik itu sering diceritakan di bangku sekolah, perkuliahan, masuk dalam kurikulum pembelajaran dan diceritakan dari mulut ke mulut, turun temurun dari generasi ke generasi. Kisah itu juga selalu menjadi penyemangat masyarakat Indonesia untuk selalu berdikari dalam melawan setiap penjajahan dalam bentuk apapun yang terjadi hari ini.
Momentum peristiwa 10 November sendiri menjadi salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam Revolusi Indonesia yang menjadi simbol perlawanan atas kolonialisme.
Pertempuran ini berpuncak saat Jendral Mallaby terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945. Setelah terbunuh, pengganti Jendral Mallaby, Mayor Jendral Eric Garden Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum kepada Indonesia. Dengan semangat kemerdekaan, rakyat Surabaya memilih melawan Sukutu. Terjadilah pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945 selama lebih kurang tiga minggu lamanya.
Peristiwa ini tentunya tidak hanya beberapa orang saja yang ikut melawan. Melainkan banyak masyarakat ikut melawan. Bukan sekadar segelintir golongan saja yang melawan, melainkan banyak ormas, pemuda, dan dari berbagai elemen masyarakat. Termasuk dari organisasi keagamaan semisal Nahdhatul Ulama dan juga Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah dalam 10 November
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi terbesar di Indonesia. Sudah banyak pejuang dari Muhammadiyah yang berkontribusi untuk Indonesia. Muhammadiyah juga sudah banyak mendirikan Sekolah, Rumah Sakit, Universitas. Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) itu tidak pernah dinikmati sendiri, melainkan diserahkan untuk kepentingan bangsa.
Penulis berupaya melakukan penelitian jejak Muhammadiyah dalam peristiwa 10 November. Dan temuan-temuan baru yang selama ini belum banyak ditulis dan dikenal masyarakat luas, begitu mencengangkan. Ada banyak peran Muhammadiyah dalam peristiwa 10 November tersebut.
Penulis menemukan arsip di salah satu surat kabar Kedaulatan Rakyat bahwa saat itu Pengurus Besar Muhamamdiyah tidak tinggal diam dalam mendukung semangat juang kadernya untuk melawan penjajah. 20 hari sebelum meletusnya perang, yaitu pada tanggal 20 Oktober 1945, Pengurus Besar mengeluarkan instruksi untuk Sholat Hajad demi kemenangan kamu muslimin di Indonesia, khususnya di Jawa Timur untuk berperang.
Bagian Surat Kabar tersebut tertulis dengan jelas bahwa Pimpinan Besar Muhammadiyah meminta kepada seluruh masjid, ranting, dan semua kadernya melaksanakan sholat hajad sesudah Jemaah Isya. Dengan ajakan yang penuh semangat: Merdeka! Merdeka! Allahuakbar!.
Berita tentang perang 10 November 1945 tersiar hingga ke pelosok Jawa Timur. Menyambut hal itu banyak masyarakat, terlebih para aktivits Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah ikut dalam barisan perjuangan. Tokoh Hizbhul Wathan yang bernama Said Umar ikut berperang hingga mengalami penangkapan dan penyiksaan dari sekutu. Bahkan hingga perang berakhir, nasib dari Said Umar tidak diketahui. Selain itu dari Pemuda Muhammadiyah juga ikut. Ibu-Ibu Aisyiyah menolong para pejuang perang. Santri yang berasal dari Lamongan, Gresik, yang memiliki garis perjuangan sama dengan Muhammadiyah juga terjun untuk ikut berperang melawan penjajah.
Dr. Moh. Soewandhie, tokoh dari KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) juga ikut berperang melawan penjajah. Dia, yang merupakan pengurus Muhammadiyah Surabaya, berjuang bersama tokoh lainnya mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, RS PKU Muhammadiyah juga menjadi tempat para korban-korban perang untuk dirawat di sana.
Buram Muhammadiyah dalam 10 November
No Document No History. Kata Tersebut agaknya relevan untuk hari ini dimana peran Muhammadiyah dalam 10 November yang masih buram. Padahal sebagai organisasi keislaman terbesar saat itu tidak mungkin kader-kadernya melewatkan momentum untuk berjihad membela agama dan negaranya. Hal ini juga disampaikan oleh sejarwan asal University of North Caroline at Chapel Hill, AS, Dr Kevin W Fogg, Ph.D. Dr. Fogg menemukan sejumlah peran Muhammadiyah yang hilang dalam sejarah nasional Indonesia.
Dr. Fogg mengaku cukup heran dengan hal itu mengingat peran Muhammadiyah dalam sejarah nasional cukup besar. Penulis sendiri berargumen dari hasil penelitian saat ke daerah-daerah di Jawa Timur untuk meneliti sejarah Muhammadiyah, karena pada waktu itu, kader-kader Muhammadiyah tidak terbiasa menyimpan benda yang dianggapnya “syirik”. Selain itu, orang-orang Muhammadiyah saat berjuang mengutamakan keikhlasan.
Dr Fogg melihat peran Muhammadiyah yang sangat besar dalam peristiwa 10 November 1945. Sebagai organisasi yang lebih rapi, dalam perang itu Muhammadiyah mengirimkan anggota yang punya kecakapan yang memadai terkait perang hingga persoalan dapur dan obat-obatan.
Temuan yang baru ini menjadi bukti terkait peranan Muhammadiyah dalam peristiwa 10 November. Temuan ini juga menjadi bukti bahwa peristiwa 10 November tidak hanya diikuti oleh satu golongan, ormas, maupun masyarakat tertentu saja. Melainkan Muhammadiyah, dan seluruh masyarakat, ikut berbondong-bondong untuk berkolaborasi mengusir penjajah.
Perjalanan Berdirinya Muhammadiyah di Kediri
Seorang pemuda bernama Masruqi, lulusan Madrasah Mambaul Ulum Solo datang ke kediri untuk membantu kedua orangtuanya berdagang kain di pasar Kediri.
Muhammadiyah mulai ia perkenalkan pada masyarakat dari pengajiannya di Setono Gedong, Kota Kediri. Dari dakwah tersebut, muncul tokoh-tokoh kader yang nantinya bergerak dalam kepengurusan Muhammadiyah di Kediri. Sebut saja H. Mashadi, Sumowidigdo, Imam Supardi, S.A. Suwito, dan Basuki Nitigoro. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dibina langsung oleh Masruqi untuk mendakwahkan Muhammadiyah di kawasan Kediri kala itu.
Kapan Muhammadiyah di Kediri berdiri? Tidak ada catatan yang jelas mengenai hal tersebut begitu juga dengan siapa para pengurus pertamanya. Perkiraan paling dekat adalah pada kisaran tahun 1927 dan sebelum tahun 1933. Ini dikarenakan nama Kediri belum tercantum dalam daftar cabang dan ranting Muhammadiyah di Hindia Timur, tetapi tercantum dalam Suara Muhammadiyah Tahun XIV [Mei 1933], (h. 67-68). Bahkan dalam Suara Muhammadiyah disebutkan bahwa saat itu Kediri tengah berstatus cabang dengan rantingnya yakni Pare.
Kebangkitan Muhammadiyah Kediri
Pasca kemerdekaan, Muhammadiyah Kediri digerakkan oleh beberapa tokoh seperti M. Shohib, S.A. Suwito. M.C. Kasimo, Trisno Wardoyo, dan H. Mashadi. Kegiatan yang dilakukan pada masa tersebut berfokus pada penggalangan dana untuk menghidupkan kembali amal usaha Muhammadiyah.
Penggerak kebangkitan ini adalah H. Trisno Wardoyo yang menjabat sebagai ketua PCM Kediri (1956-1971). Setelah status cabang Kediri diubah menjadi daerah pada tahun 1967, kota Kediri dikembangkan menjadi 3 PCM di Kecamatan Mojoroto, Kecamatan Kota, dan Pesantren.
Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dikeluarkan, banyak tokoh Masyumi yang berasal dari Muhammadiyah kembali sebagai aktivis dan mubaligh Muhammadiyah.
Beberapa tokoh seperti Dipowaryo dari Gurah, Moh. Syamlan dari Tulungagung, dan Syamsuddin dari Kandat yang umumnya dikenal sebagai para orator dan mampu memukau umat, digunakan oleh Muhammadiyah untuk memperkuat garda depan Muhammadiyah yang terancam oleh aksi pihak-pihak yang takut terhadap Islam terutama PKI dan organisasi dibawahnya seperti BTI, Gerwani, Pemuda Rakyat, dan Lekra. Meski tengah memosisikan diri dalam bentuk pertahanan, namun Muhammadiyah tetap menggelar dakwah. Dalam dakwahnya sendiri, Muhammadiyah menghadirkan A.W. Suyoso dari Surabaya, dan Buya Hamka dari Jakarta. Untuk menyiasati sulitnya izin yang diberikan maka nama A.W. Suyoso diubah menjadi Abdul Wahid atau Abd. Wahid S.
Tahun 1961 menjadi masa yang cukup sulit bagi Muhammadiyah di Kediri. Meski di tahun tersebut dilaksanakan salat Idul Fitri di lapangan Soetomo Betek (Sekarang menjadi pasar Soetomo Betek) Kota Kediri, namun jama’ahnya hanya terdiri dari tiga shaf pendek dengan lebih banyak orang yang hanya menjadi penonton. Dengan diadakannya salat Idul Fitri tiap tahun, jumlah jama’ah semakin bertambah. Hal tersebut berdampak pada ketua PCM Kediri, H. Mashadi yang dilarang salat rawatib di mushalla dan tidak mendapat sapaan dari tetangganya.
Pada periode Trisno Wardoyo-Ripto Darmono Muhammadiyah Kediri mendirikan Masjid Baiturrahman di kompleks Perguruan Jalan Penanggungan. Bapelruzam (Badan Pelaksana urusan Zakat Muhammadiyah) didirikan pada masa orde baru, yang menunjukkan gerak persyarikatan cukup cepat di era tersebut. Antara tahun 1967-1971, Muhammadiyah diberikan status ormaspol yang menjadikan Muhammadiyah mendapatkan jatah di kursi DPRD-GR. Di antara tokoh yang aktif dalam bidang politik contohnya seperti Sjamsuddhuha. Ia ditunjuk oleh Muhammadiyah Cabang Kota untuk menjadi anggota DPRD-GR Kotamadya Kediri. Untuk Kabupaten Kediri, ditunjuklah Drs. Soeparno (Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Kediri). Pada masa tersebut kegiatan pengajian umum harus mendapatkan izin dari Kantor Depag dan Muspida untuk Kabupaten/Kotamadya, dan Muspika untuk tingkat kecamatan.
Berdasarkan ditetapkannya PP Muhammadiyah tanggal 10 Rabi’ul Awal 1387 H/18 Juni 1967, status Muhammadiyah Kediri menjadi Daerah. Meski demikian, baru setahun kemudian kepengurusan PDM Kediri terbentuk, dengan susunannya yakni Mardono Sastro Admodjo (Ketua) dan Trisno Wardoyo, Drs A.Chotib, Drs. Soeparno, Drs. Kasmuri, A. Djaelani Cholik, Moh. Amin, B.A., M.S. Poeloengan, Dahlan Bakar, M. Chuzaini, Machrus Ihsan (anggota). Pada masa tersebuut belum ada pemisahan antara pengurusan PDM kabupaten dan PDM Kotamadya. Namun sangat disayangkan karena Mardono Sastro Admodjo tidak dapat melanjutkan kepemimpinannya sampai selesai karena ia diangkat sebagai Kepala Perwakilan Jawatan Pendidikan Agama dan Depag Provinsi Jawa Timur (1971-1974). Dengan begitu, maka kepemimpinan PDM Kediri digantikan oleh Trisno Wardoyo yang akhirnya memimpin selama 3 periode berturut-turut, yakni periode 1971-1974, 1974-1978, dan 1978-1985.
Pemisahan PDM Kota dan Kabupaten
Musyda 3 November 1991 diadakan dengan adanya pertimbangan efektivitas kinerja, luas wilayah, dan jumlah penduduk yang besar, maka diputuskan adanya pengembangan PDM Kotamadya dan Kabupaten. Ketua PDM Kota pada periode 1990-1995 yakni Ripto Darmono, dengan dibantu oleh M. Drs. Amin Sudiro, Drs. Komarudin Dar, Drs. Ismuji, Zainul Arifin AS, B.A., Drs. Soedjoko, Moedjio Slamet, Drs. Ibnu Musthofa, dan M. Chambali. Untuk membantu tugas-tugas bidang dibentuklah Majlis Tabligh, Tarjih, Dikdasmen, PKS, PK, Ekonomi, Wakaf, Pustaka, Kebudayaan, Perkaderan, dan Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan.
Setelah masa kepemimpinan Ripto Darmono usai, diangkatlah Drs. Qomaruddin Dar pada periode 1996-2000 dengan susunannya yakni Qomaruddin Dar (Ketua) A. Thoyfur, Dr. Sentot Imam Suprapto, Drs. Amin Sudiro (ketua I,II, dan III), Drs. Sholeh Suradi, M.Pd., Drs. Abu akar, MS. (sekretaris I dan II), Drs. Basyiruddin, Ir. Darsono (bendahara I dan II), Ripto Darmono, Imam Muslim, S.Ag., Drs. Masroeki, BBA., Drs. Ismuji, dan Mursono (anggota). Pada periode ini banyak melibatkan tokoh-tokoh muda, intelektual, baik yang berasal dari AMM atau kader-kader yang memang aktif di organisasi-organisasi lain seperti HMI dan pada Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang tersebar di berbagai PTN, PTS, dan Pondok Pesantren. Aisyiyah, NA, Pemuda Muhammadiyah, IRM (sekarang menjadi IPM) berhasil dibentuk oleh PDM Kediri. PDM Kotamadya Kediri membawahi 3cabang, yakni Mojoroto, Kota, dan Pesantren dengan total ranting yang dimiliki ada 21 ranting. Cabang Kota terdiri dari 6 ranting, dan 3 ranting persiapan. Selama tiga tahun PCM Kecamatan Kota berhasil menghimpun zakat maal sekitar empat puluh lima juta rupiah. Cabang Mojoroto memiliki 10 ranting, sedangkan Cabang Pesantren memiliki 5 ranting. Pada periode 2000-2005, Muhammadiyah Kediri Kota dipimpin oleh Drs. H. Muslikhin dengan sekretarisnya M. Fauzan B. Joesoef, S.Ag. Sedangkan Muhammadiyah Kabupaten Kediri memiliki 18 cabang dan 95 ranting, yang pada periode 2000-2005 dipimpin oleh Drs. Abu Abik Toiron dibantu oleh Ali Sa’roni sebagai sekretarisnya.
Dari Musholla Ke Musholla Jejak Muhammadiyah di Mojokerto Berawal
Gerakan Muhammadiyah di kawasan Mojokerto, lebih tepatnya Kabupaten dan Kota Mojokerto bermula pada tahun 1932 dari diadakannya pengajian di beberapa musholla. Di antara beberapa musholla tersebut adalah Suranatan milik KH. Hasan Basri dan musholla Sinoman milik Kiai Kahmas. Pengajian tersebut dimotori oleh para pemilik musholla dengan dibantu oleh Kyai Qasim, Kyai Abu Amar dan istrinya. Mubaligh-mubaligh dari luar Mojokerto didatangkan untuk mengisi pengajian tersebut. Contohnya ada Kyai Jusman dari Solo, Kyai Abdul Rahim dari Porong, KH. Marzuki Ilyas seorang lulusan Tablighschool Surabaya.
Pengajian tersebut meluas ke musholla di Kalimati yang dimiliki oleh KH. Marzuki dan musholla milik Ny. Wongso yang terletak di Jl. Empu Nala (sekarang). Dari diadakannya pengajian di musholla inilah Muhammadiyah di Mojokerto dapat berdiri pada 17 April 1932. Pengurus Muhammadiyah Cabang Surabaya mengadakan pertemuan dengan para kandidat pimpinan Muhammadiyah Mojokerto di Tengger School, Mojokerto. Perwakilan dari cabang Surabaya yang datang adalah M.H. Mansoer, Mohammad Saleh, Soediroatmojo, Adjarsoenoto dan G. Hadjodipoero.
Setelah struktur kepemimpinan Muhammadiyah Groep Mojokerto dibentuk dengan ketuanya Eiland Djojodiharjo, wakil ketua Roedjichan, soerojo Koesmotenojo dan Ma’some sebagai sekretaris, S. Tirtohoedojo sebagai bendahara, dan Moehammad Soenoto dan Mashoerie sebagai komisaris; maka diadakan pertemuan lanjutan yang membahas program kerja untuk Muhammadiyah Groep Mojokerto yang baru berdiri. Dari pertemuan ini, diadakan program sederhana yakni mengadakan pertemuan atau kursus setiap satu minggu sekali yang bertempat di musholla wakaf Somolepen, yang diadakan setiap malam Jum’at pada jam 8 malam. Dalam pertemuan tersebut juga ditentukan siapa nanti yang akan memberikan kursus atau pengajian. Ma’some dan Roedichan mengisi tentang agama, dan Abduladjis mengisi tentang keilmuan. Setiap sebulan sekali, K.H. Mas Mansur diminta datang ke Mojokerto unyuk mengisi pengajian setiap sebulan sekali.
Meski awalnya pada tahun 1927 nama Mojokerto belum tercatat dalam BTMHT, tetapi pada tahun 1933 sudah muncul dalam daftar cabang dan ranting Muhammadiyah se-Hindia Timur dengan status ranting. Berdasarkan catatan penyusun buku “Panti Asuhan Yatim (PAY) Muhammadiyah Jl. K.H. Mas Mansur No. 24 Mojokerto”(1978), Muhammadiyah Mojokerto berganti statusnya menjadi cabang pada tahun 1935. Status cabang untuk Muhammadiyah Mojokerto tersebut berdasar pada SK. Hoofbestuur No. 536 tanggal 9 April 1935. Pelantikan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mojokerto dilakukan oleh KH. Mas Mansur selaku Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya di Hotel Timur, Jl. Klenteng (sekarang Jl. Letkol Sumarjo). Status cabang tersebut baru tercatat pada SM tahun 1936.
Perkembangan Muhammadiyah Di Mojokerto
Sejak berdiri, Muhammadiyah Mojokerto tidak menunjukkan perkembangan yang begitu pesat, hanya berdiri beberapa ranting di beberapa tempat. Seiring dengan berjalannya waktu dan diiringi dengan pengurus yang silih berganti untuk menjalankan roda organisasi Muhammadiyah, lambat laun Muhammadiyah Mojokerto mengalami perkembangan. Dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang semakin kompeten, maka komposisi yang ada dalam struktur kepemimpinan juga mengalami peningkatan kualitas.
Ranting Gedeg yang berdiri pada tahun 1959 berkembang menjadi cabang pada tahun 1963. Menyusul Cabang Mojosari pada tahun 1965. Pada tahun 1966, Muhammadiyah Mojokerto Selatan dan Ngoro resmi menjadi cabang, disusul dengan cabang Puri yang berdiri tahun 1979. Muhammadiyah Daerah Mojokerto di tahun tersebut memiliki 16 cabang dan 80 ranting. Dari jumlah ranting yang ada, sebagian aktif dan sebagian lainnya kurang aktif. Di awal masa orde baru, IPM berhasil meluncurkan dan melakukan siaran radio dengan gelombang pemancar 64,2. Selain untuk kegiatan dakwah dan syiar Islam di Mojokerto, radio ini juga dimanfaatkan oleh berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Pimpinan Daerah Mojokerto pada periode 1985-1990 dipimpin oleh Nazaruddin Rachman, BA. Pada periode berikutnya, yakni 1990-1995 digantikan oleh Drs. H. Chusni Walujo. Pada Musyda periode 1995-2000, H. Ali Munadi dipilih menjadi ketua. Pada periode 2000-2005, PDM Mojokerto dipimpin olej Drs. Holiin Daelani meski di tengah perjalanan digantikan oleh Drs. H. Qowaid. Titik penting perkembangan Muhammadiyah di Mojokerto adalah pada tahun 1990, yang menunjukkan banyak cabang dan ranting yang berdiri.
Muhammadiyah Prajurit Kulon resmi berstatus cabang pada bulan Februari 1990, menyusul Cabang magersari, Cabang Sooko, Cabang Kutorejo, Cabang Pacet, Cabang Trawas, Cabang Bangsal, Cabang Dlanggu, dan cabang trowulan.
Dari 20 kecamatan yang ada di Mojokerto, total sudah ada 20 Pimpinan Cabang Muhammadiyah yang berdiri dengan dua cabang di Mojokerto Kota yakni Cabang Prajurit Kulon dan Cabang Magersari. Sedangkan 18 cabang lainnya masuk ke dalam Kabupaten Mojokerto yakni Cabang Sooko, Kutorejo, Pacet, Gedeg, Bangsal, Dlanggu, Trowulan, Mojosari, Puri, Dwarblandong, Jetis, Jatirejo, Gondang, Pungging, Ngoro, Mojoanyar, Trawas, dan Kemlagi. Dari kedua puluh PCM tersebut yang lebih dominan dan berkembang adalah Cabang Gedeg, Ngoro, Mojosari, dan Trowulan. Hal ini ditunjukkan dengan masifnya kegiatan dakwah yang dilakukan cabang tersebut untuk masyarakat. Jika cabang yang dimiliki hidup dan aktif, maka ranting yang dicakup juga akan ikut hidup dan aktif juga