Date Post : 19 Desember 2020 06:15 WIBPenulis : Hasnan Bachtiar
Kita harus kembali ke khitah demokrasi ideal yang kita idamkan. KPK dan seluruh elemen bangsa (pemerintah, rakyat dan masyarakat sipil) mulai hidup baru dengan tirakat memperjuangkan demokratisasi yang substansial.
Adalah Marcus Mietzner yang turut menerawang masa depan demokrasi negeri ini. Dalam bukunya yang bertajuk Money, Power and Ideology ia dengan penuh perhitungan menyatakan, "...there is no guarantee that the country\'s democracy will survive the next 15 years if its parties remain financially unsustainable." (2016: 240).
Kata-kata peringatan Marcus ini menegaskan, "...tidak ada jaminan demokrasi negeri ini akan mampu hidup pada 15 tahun mendatang jika partai-partainya tak sanggup memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri."
Secara formal-prosedural, demokrasi kita memang sangat bergantung partai politik. Itulah "mesin" yang mampu menggerakkan suara rakyat yang secara ajaib kemudian menjelma nama-nama para pemimpin terpilih. Memang, mesin ini butuh bensin, uang, agar mampu bergerak maju. Ongkos politik menitipkan suara rakyat kepada wakilnya (atau secara faktual logika ini dibalik, membeli suara rakyat untuk maju sebagai pejabat), alias tidak gratisan.
Demokrasi prosedural yang transaksional
Dengan nada yang lesu dan pilu, cendekiawan Moeslim Abdurrahman (2009) pernah menyesalkan bahwa, sesungguhnya tidak ada istilah rakyat dan wakil rakyat. Karena dalam proses kontestasi politik elektoral, partai-partai berperan sebagai makelar jual-beli suara antara pemilik suara dengan calon pejabat. Dus, demokrasi prosedural ini, transaksional.
Tidak semua calon pejabat punya ongkos politik. Karenanya, peran makelar juga mencarikan investor yang berkenan memberikan modal awal. Tentu harapannya dengan investasi ini, setelah calonnya jadi, maka akan memanen berbagai keuntungan. Salah satu buah yang manis ketika dipanen, adalah jaminan mendapatkan proyek tertentu.
Entah proyek apa itu, yang jelas sangat menggiurkan menurut kaca mata akumulasi kapital.
Kalau "deal" dibuat dengan legislatif, maka terdapat jaminan lolosnya perundang-undangan yang tentu memihak tuannya. Kalau itu dengan eksekutif, maka pelaksanaannya akan rapi, tertib dan terkadang tidak menyisakan jejak-jejak kejahatan. Sementara di tangan yudikatif dan aparat penegak hukum lainnya, maka akan dengan mudah lolos dari jeratan hukum dan segala turunannya.
Nah, cara kerja makelar dengan berbagai pihak, ternyata tidak melulu bersifat statis, serba di bawah meja, di balik layar atau bahkan bergerak di bawah tanah. Bisnis ini, lambat laun semakin terang-terangan, persaingannya ketat dan sifatnya dinamis.
Tidak heran jika koruptor kelas kakap yang menghilangkan triliunan rupiah uang negara, lantas dengan mudahnya kembali ke Tanah Air dari persembunyiannya selama ini di negeri China. Ternyata siasat dimainkan di lingkungan aparat penegak hukum dan seorang jaksa yang lihai memainkan perkara.
Para teoretisi politik, seperti Vedi Hadiz (2019), misalnya, menyebut "permakelaran" ini dengan istilah oligarkisme. Sebagian kalangan yang sudah muak, menyebutnya "praktik kleptokrasi."
Bahasa lugasnya "praktik politik kotor yang disertai penggarongan duit rakyat." Intinya, masa depan negeri ini ada di tangan mereka: para investor politik, para makelar dan para agensi yang menduduki berbagai jabatan strategis.
Agama sebagai instrumen politik
Permainan ini tidak berhenti sampai di sini. Segala potensi yang memungkinkan untuk memenangkan kontestasi politik elektoral, atau untuk melanggengkan status quo, akan dimanfaatkan sedemikian rupa. Meskipun, hal itu adalah isu-isu keagamaan yang sensitif maupun kabar palsu yang menyesatkan publik.
Anna Schaefer (2019), ilmuwan sosial Jerman yang mengamati Indonesia secara saksama menyatakan bahwa, dalam kontestasi politik elektoral, partai-partai politik dan berbagai pemainnya, kerap menjadikan agama sebagai instrumen politik. Dengan demikian, mempertaruhkan segala risiko konflik horizontal, demi kepentingan kekuasaan.
Instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik, dianggap memberikan keuntungan bagi mereka yang berkepentingan meraih kursi kekuasaan. Namun, ekses negatifnya, termasuk meledakkan dinamit populisme Islam di Tanah Air, sangat merepotkan semua pihak.
Lihatlah kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta yang mengangkat Anies Baswedan dan menumbangkan Basuki Tjahaja Purnama, telah memanen Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid dan senantiasa gegap gempita ketika pemilihan umum digelar.
Kebangkitan populisme Islam ternyata tidak hanya menempa ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Namun juga mengundang tampilnya berbagai "free riders" alias para penumpang gelap yang sudah sejak lama menyimpan dendam kepada pemerintah, Pancasila dan bahkan negara Indonesia.
Mereka menganggap pemerintah adalah thagut atau iblis yang harus ditumpas habis, Pancasila adalah demokrasi yang kafir dan Indonesia adalah dar al-harb (yang patut diperangi).
Dalam konteks ini, kelompok-kelompok Islamis radikal, turut tampil ke permukaan dan membuat suasana semakin runyam. Setelah Jama\'ah Islamiyah, muncullah Jama\'ah Ansorut Tauhid, Jama\'ah Ansorut Daulah dan kelompok gerilyawan pimpinan Santoso.
Kemudian, jihad-perang yang ofensif, yang pada mulanya hanya digunakan sebagai argumentasi di lingkungan gerakan teroris, kini meluas ke kelompok-kelompok keagamaan konservatif. Berbagai video yang mengumandangkan adzan "hayya ala al-jihad" merangsek masuk ke sfera publik, melalui media-media sosial.
Tentu situasinya akan sangat mencekam, jika kelompok keagamaan yang konservatif kemudian bertransformasi menjadi radikal.
Di samping itu, ketika Indonesia harus berjuang melawan wabah pandemik Covid-19, memperjuangkan perbaikan ekonomi akibat resesi dan berusaha mendapatkan kembali trust masyarakat, "masalah keagamaan" ini dianggap sebagai bom waktu yang berbahaya, karena bisa meledak kapan saja.
Salah seorang aktor penting dalam populisme Islam, untuk sementara waktu memang pergi ke luar negeri. Tapi ketika ia kembali, terutama bertepatan dengan situasi yang kompleks dan genting terjadi, sentimen keagamaan masyarakat yang tampaknya mengeras, muncul kembali. Ini menjadikan pekerjaan rumah pemerintah kian berat.
Dalam rangka mengurangi sentimen ini, berbagai aparat penegak hukum dikerahkan. Bahkan, militer turun tangan. Baliho-baliho penyambutan sang aktor, diturunkan paksa dan disertai dengan pemberitaan yang kritis dan persuasif.
Entah bagaimana ceritanya, ketika dua menteri ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tiba-tiba terjadi insiden antara polisi dengan beberapa pengikut sang tokoh populisme Islam. Enam orang tewas dalam insiden ini dan memicu reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang memandang bahwa, apa yang terjadi merupakan kejahatan biasa yang dilakukan warga sipil.
Tapi ada pula yang mengira bahwa itu adalah pelanggaran hak-hak asasi manusiaa (HAM) oleh aktor negara.
Tentu karena ini merupakan perkara hukum, terlepas dari berbagai pendapat yang ada, maka penyelesaiannya harus dilakukan secara hukum.
Demokrasi substansial
Kembali ke akar persoalannya. Berawal dari praktik makelar politik, menjalar ke oligarkisme, korupsi dan radikalisasi agama di kalangan mereka yang memilih jalan oposisi. Ingat, saat ini, praktik demokrasi kita masihlah terlampau formal dan prosedural.
Artinya, terlalu terfokus pada bagaimana memenangkan kursi politik tertentu. Bukan memperjuangkan demokratisasi yang substansial; menganggap suara rakyat yang mengidamkan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan adalah sesuatu yang sakral.
Menyelesaikan masalah ini, tak bisa secara sektoral. Semata -mata masalah korupsi, sistem kepartaian, kepastian sustainabilitas keuangan partai, atau masalah krusial seperti pertahanan, keamanan dan menghentikan radikalisasi. Tidak bisa. Kita harus berpikir secara integral dan komprehensif.
Hal yang paling konkret yang memungkinkan kita lakukan adalah semua pihak menahan diri. Lalu kemudian, dimulai dari representasi negara, mereka harus mengedepankan kenegarawanannya. Mereka mesti menegosiasikan ulang hubungan mereka dengan para pemodal politik, bahwa integrasi bangsa Indonesia lebih penting dari sekadar keuntungan individu maupun kelompok tertentu.
Pemerintah tak boleh memainkan peran aparat pertahanan dan keamanan secara berlebihan dan bersifat melawan hukum. Akan lebih strategis jika yang menyelesaikan masalah populisme Islam yang semakin radikal ini, adalah berbagai organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Berikanlah kepercayaan utuh kepada mereka untuk mendakwahkan nilai-nilai luhur Islam.
KPK harus ditempatkan sebagai organisasi luar biasa yang berdiri kokoh tanpa pelemahan akibat oligarkisme politik. KPK harus berkerja demi negara berdasarkan undang-undang, bukan rekayasa politik para agensi oligarki.
Akhirnya, seluruh elemen bangsa (pemerintah, rakyat dan masyarakat sipil), mulai hidup baru dengan tirakat memperjuangkan demokratisasi Indonesia yang substansial.
Kita harus kembali ke khitah demokrasi ideal yang kita idamkan. Semoga dengan berbagai langkah strategis yang dilakukan, secara berangsur-angsur, masalah-masalah kebangsaan yang kompleks, akan terselesaikan.
(Hasnan Bachtiar Dosen UMM, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar)