Date Post : Jumat, 27 Mei 2022 | 19:48 WIBPenulis : Dhimas Ginanjar
KONTROVERSI menyusul penolakan Singapura terhadap Abdul Somad terus berlanjut. Dimensi dan spektrum kontroversinya pun berkembang semakin luas. Sudut pandang yang digunakan untuk memberikan dukungan kepada kedua pihak pun beragam. Terlepas dari pro-kontra yang berkembang seputar persoalan ini, peristiwa yang terjadi pada Abdul Somad di Singapura bisa dibaca dari perspektif ideologi.
Penolakan seorang tokoh oleh sebuah pemerintahan yang dikaitkan dengan pemikiran dan gagasan bukanlah sebuah hal yang sama sekali baru dalam kehidupan sosial politik. Publik barangkali masih ingat bahwa pada 2014 Ulil Abshar Abdalla pernah mengalami pencekalan masuk ke Malaysia. Ulil yang sedianya memberikan ceramah tentang fundamentalisme agama di Islamic Renaissance Front (IRF), Kuala Lumpur, terpaksa batal dan kemudian menyampaikan ceramahnya secara daring. Penolakan Malaysia atas Ulil Abshar Abdalla bertumpu pada persoalan pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan akidah Islam.
Hal yang kurang lebih sama juga dialami seorang sarjana muslim asal Turki, Mustafa Akyol. Dalam buku terbarunya, Reopening Muslim Minds: A Return to Reason, Freedom, and Tolerance, Akyol menceritakan bahwa dalam rangkaian perjalanan ilmiahnya di Malaysia, dia harus menyampaikan sejumlah ceramah tentang Islam dan kebebasan berpikir. Sebelum menulis buku di atas, buku Akyol yang lain, yaitu Islam without Extremes: A Muslim Case for Liberty, terlebih dahulu terbit. Meskipun tidak secara khusus mempromosikan buku itu, ceramah-ceramah Akyol bersinggungan sangat erat dengan topik Islam dan kebebasan.
Dalam perjalanan itulah, dia harus berhadapan dengan polisi agama Malaysia dan dipulangkan sebelum waktunya. Alasan penangkapan dan pemulangannya tentu berkaitan erat dengan pemikirannya yang dianggap meresahkan.
Apa yang terjadi pada Abdul Somad, Ulil Abshar, dan Mustafa Akyol adalah sama. Mereka semua mengalami penolakan, dengan peristiwa dan model penolakan yang variatif, oleh sebuah negara karena persoalan pemikiran yang mereka miliki. Namun, ada juga perbedaan di antara ketiganya.
Jika Ulil Abshar Abdalla dan Mustafa Akyol ditolak karena pemikiran-pemikiran mereka yang terbuka dan bahkan mungkin terlampau terbuka, Somad ditolak pemerintah Singapura karena pertimbangan pemikiran-pemikirannya yang dianggap berpotensi radikal.
Jika dihadapi dengan sikap emosional, tindakan penolakan masuk ke sebuah negara memang akan tampak sebagai sebuah tindakan ekstrem dan tidak manusiawi. Akan tetapi, jika dibaca secara lebih mendalam, peristiwa-peristiwa ini membawa kita pada satu refleksi bahwa sebuah negara dan atau pemerintahan tidak hanya dibangun di atas infrastruktur dan birokrasi politik. Di balik keduanya, terdapat ideologi. Dalam hal ini, ideologi bisa didefinisikan sebagai pandangan-pandangan dan keyakinan-keyakinan dasar yang mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk menjalankan tindakan-tindakan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Dengan formula seperti ini, ideologi sebenarnya memiliki daya memaksa dan menggerakkan; karena keyakinan dan pandangan yang kuat merupakan dorongan untuk menjalankan aneka tindakan. Aneka kebijakan dan keputusan politik tidaklah mungkin bisa dilepaskan dari aspek ideologi. Maka, demikianlah dengan penolakan negara-negara tertentu terhadap orang-orang tertentu. Ada ideologi yang ditegakkan di balik penolakan itu.
Karl Mannheim, seorang sosiolog Jerman, membaca keterikatan yang erat antara ideologi dalam politik. Bagi Mannheim, secara umum manusia bisa menjalankan dua ideologi, yaitu ideologi parsial (partial ideology) dan ideologi total (total ideology). Ideologi parsial pada dasarnya adalah ciri universal manusia. Bahwa sering kali pandangan manusia tentang sesuatu dianggap atau diperlakukan sebagai salah karena manusia terdistorsi oleh kepentingan atau prasangkanya tentang sesuatu.
Sementara itu, ideologi total merujuk pada pandangan manusia dari berbagai kelompok yang berbeda dan dianggap sebagai perwujudan komitmen mereka pada perspektif tertentu yang mereka kembangkan. Maka, ideologi total yang dianut satu kelompok akan memiliki asumsi dan perspektif yang berbeda dengan yang dianut kelompok lain.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam dunia politik muncul pandangan yang tidak hanya berbeda, tetapi saling bertentangan yang berdiri di atas basis ontologis yang berbeda tentang apakah yang ideal bagi masyarakat berdasar pada model pemikiran yang mereka yakini.
Penolakan Somad oleh Singapura adalah benar bagi pemerintah Singapura karena mereka memang memiliki pandangan tersendiri tentang apa-apa yang ideal bagi rakyat Singapura. Salah satunya adalah mengamankan Singapura dari ancaman radikalisme. Itulah ideologi.
Dengan ukuran-ukuran yang mereka miliki, Singapura melihat Somad memiliki potensi ke arah itu sehingga penolakan tersebut tidak bisa dihindari. Sementara itu, pendukung Somad, dengan basis ontologi dan epistemologi yang berbeda, melihat penolakan tersebut sebagai tindakan penghinaan. Pandangan itu juga muncul karena adanya kerangka ideologi tertentu.
Sebaliknya, bagi mereka yang memandang Islam adalah agama yang harus tampil dalam wajah yang humanis, progresif, dan bahkan multikulturalis; pencekalan Ulil Abshar Abdalla dan Mustafa Akyol di Malaysia adalah sebuah kemunduran terhadap intelektualisme Islam.
Akan tetapi, keputusan yang diambil pemerintah Malaysia terhadap Ulil dan Akyol dipandang sebagai tindakan benar. Sebab, kehadiran Ulil dan Akyol dianggap mampu menghadirkan ’’gangguan” bagi bentuk masyarakat yang diidealkan pemerintah Malaysia.
Dalam bingkai demikian ini, penolakan seseorang atas dasar pemikirannya oleh sebuah negara atau pemerintahan memang akan terlihat sebagai sebuah paradoks. Akan tetapi, dengan melihat dialektika antara ideologi dan tindakan, tindakan-tindakan penolakan yang dilakukan pemerintah mana pun terhadap siapa pun bisa dipahami. Sementara bagi tokoh-tokoh yang mengalami penolakan, tentu mereka telah memahami bahwa berdiri di atas pilihan pemikiran dan sikap apa pun tidak akan pernah bebas dari risiko. (*)
*) PRADANA BOY ZTF, Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang