Date Post : 17 November 2022| 19:48 WIBPenulis : SUKIDI
Di usia 86 tahun, Ahmad Syafii Maarif mengirim pesan tentang kepergiannya ke Bandung, Jawa Barat, demi Muhammadiyah. “Insya Allah, peletakan batu pertama, pada 23 Januari 2022, sebuah masjid dan rumah sakit Muhammadiyah di Bandung Selatan dengan total dana Rp 60 miliar. Sumbangan seorang pengusaha. Alhamdulillah.” Tuhan memanggil guru bangsa itu lebih cepat, pada 27 Mei 2022. Sembilan bulan 10 hari sejak peletakan batu pertama, pada Kamis, 3 November 2022, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir meresmikan masjid dan rumah sakit yang berdiri berkat amal jariyah pengusaha dermawan Muhammadiyah, Yendra Fahmi.
Selama 110 tahun, Muhammadiyah tumbuh dan berkembang pesat berkat tradisi pengabdian yang tulus dari mereka yang menjiwai keteladanan luhur sang pendiri, Ahmad Dahlan, untuk menghidup-hidupi Muhammadiyah. Saat kas Muhammadiyah kosong tahun 1921, ia rela melelang barang-barang di rumah untuk membiayai gaji guru, karyawan, dan sekolah Muhammadiyah.
Lebih dari 4.000 gulden terkumpul dari hasil lelang. Saat ia menawarkan diri untuk mengantarkan barang-barang yang terjual, penduduk Kauman menjawabnya: “Tidak usah Kiai. Barang-barang itu biar di sini saja. Semua kami kembalikan pada Kiai.” Kiai bertanya, “Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?” Salah seorang menjawab: “Ya untuk Muhammadiyah. Kiai tadi mengatakan bahwa Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru, karyawan, dan membiayai sekolahnya?” Kiai bertanya lagi, “Ya, tapi kebutuhan Muhammadiyah hanya sekitar 500 gulden. Lalu sisanya bagaimana?” Salah seorang menjawab: “Ya biar dimasukkan saja ke kas Muhammadiyah.”
Kisah keteladanan pembaru Islam itu disaksikan oleh muridnya, Muhammad Sudja, yang menceritakan secara lisan kepada AR Fachruddin, yang menceritakan ke putranya, Sukriyanto AR, yang lalu menarasikan cerita lisan ke kultur tulisan dalam Suara Muhammadiyah, No. 13/98/1-15 Juni 2013. Sukriyanto AR pantas bangga pada AR Fachruddin yang menjiwai keteladanan Dahlan untuk mengabdi pada Muhammadiyah secara tulus.
Sungguh, pengabdian Dahlan yang tulus pada Muhammadiyah terekam kuat dalam memori kolektif pimpinan dan warga Persyarikatan. Ia telah menjadi teladan moral untuk menjalani hidup sebagai panggilan pengabdian yang tulus untuk memajukan Muhammadiyah dan Indonesia.
Muhammadiyah dan Indonesia ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Dengan usia sekitar 33 tahun lebih tua dari republik ini, Muhammadiyah berpartisipasi aktif bersama seluruh komponen bangsa untuk mendirikan, merawat, dan memajukan Indonesia. Soekarno, Sukiman Wiryosanjoyo, H. Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir, KH Mas Mansoer, Ki Bagus Hadikusumo, AR Baswedan, Maria Ulfah Santoso, dan Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito merepresentasikan tokoh-tokoh besar Muhammadiyah yang ikut serta merumuskan dasar negara Indonesia merdeka dan Rancangan Undang-Undang Dasar dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Indonesia didirikan bukan hanya oleh Bapak Pendiri Bangsa, the Founding Fathers seperti di Amerika, tetapi juga oleh Ibu Pendiri Bangsa, the Founding Mothers, atas keterlibatan dua perempuan: Siti Sukaptinah Mangunpuspito, aktivis Siswapraya, Wanita Muhammadiyah dan Maria Ulfah Santoso, guru Sekolah Menengah Muhammadiyah di Jakarta (1934-1942).
Tokoh besar Muhammadiyah yang paling berjasa dalam meletakkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia merdeka adalah Soekarno. “Dan Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi itu haruslah Pancasila,” pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di sidang BPUPK. Jejak dan pengaruh Dahlan pada Soekarno terekspresikan secara jelas pada pidatonya di Muktamar Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta: “Saudara-saudara, makin lama makin saya cinta kepada Muhammadiyah. Tatkala umur 15 tahun, saya simpati pada Kiai Ahmad Dahlan sehingga mengintil kepadanya. Tahun 1938, saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah.” Sejak pengasingan politik di Bengkulu, 1938-1942, Soekarno berbakti pada Muhammadiyah sebagai anggota, guru, serta Ketua Majelis Pendidikan dan Pengajaran.
Ke-Muhammadiyah-an Soekarno semakin sempurna melalui pernikahan pada 1 Juni 1943 dengan putri pasangan Hasan Din, konsul Muhammadiyah dan Siti Chadijah, aktivis Aisyiyah, bernama Fatmawati, kader otentik Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah, yang berjasa dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada 17 Agustus 1945.
Berdirinya dan tegaknya Indonesia tak terlepas dari Muhammadiyah. Dengan terlibat aktif dalam mendirikan Indonesia, Muhammadiyah terpanggil untuk mencintai, merawat, dan memajukan Indonesia melalui pendirian 119 rumah sakit dan 235 klinik untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; melalui pembangunan institusi pendidikan, mulai dari 22.000 PAUD dan TK, ribuan sekolah, madrasah, dan pesantren, sampai sembilan perguruan tinggi Aisyiyah dan 173 perguruan tinggi Muhammadiyah, termasuk Universiti Muhammadiyah Malaysia dan Muhammadiyah Australia College di Melbourne, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan semesta; serta melalui pengembangan ratusan panti asuhan, amal sosial, dan ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup serta kemanusiaan yang setara.
Inilah cara terbaik yang ditempuh Muhammadiyah melalui seruan berlomba-lomba dalam kebajikan dan amal nyata untuk kemajuan Indonesia. Di tengah ancaman resesi global dan kehidupan rakyat kecil yang susah, Muhammadiyah memberikan teladan baik untuk bertindak terkait apa yang dapat kita darma baktikan untuk kemajuan Indonesia.