Date Post : 24 Juli 2022| 19:48 WIBPenulis : SYAMSUL ARIFIN
Asketisme Muhammadiyah
Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal antara lain sebagai intelektual asketis-prolifik dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005), meninggalkan banyak catatan reflektif yang menggugah dan menggugat Muhammadiyah. Pada buku Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993), misalnya, Buya Syafii Maarif—sapaan akrab semasa hidupnya—memberi pujian terhadap Muhammadiyah karena besarnya jumlah amal usaha yang disumbangkan untuk umat Islam dan kemanusiaan.
Buya Syafii Maarif juga mengungkapkan pandangan kritisnya terhadap Muhammadiyah, seperti ditulis dalam Menerobos Kemelut (2019). Pada bagian Kuntowijoyo (1943-2005) dan kritiknya terhadap Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif justru khawatir Muhammadiyah terbebani oleh banyaknya amal usaha, lalu abai terhadap pembaruan kualitatif sehingga Muhammadiyah belum bisa tampil sebagai gerakan Islam garda depan di Indonesia.
Catatan Buya Syafii Maarif itu penting diperhatikan sebagai bahan refleksi dalam rangka milad Muhammadiyah. Berdasarkan penghitungan kalender hijriah, pada tahun ini Muhammadiyah memasuki usia ke-113. Muhammadiyah lahir pada 8 Dzulhijah 1330 H (18 November 1912 M), yang pada tahun ini—8 Dzulhijjah 1443 H—bertepatan dengan 7 Juli 2022 M.
Asketisme
Mencapai usia panjang merupakan anugerah bagi Muhammadiyah. Ada beberapa organisasi yang lahir nyaris berdekatan dengan Muhammadiyah dari sisi waktu, tetapi tidak berumur panjang. Sementara Muhammadiyah, alih-alih sekadar memperlihatkan kebertahanan atau resiliensi, justru menunjukkan dinamisasi. James L Peacock dalam The Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesian Islam (1979) mengungkap faktor resiliensi dan dinamisasi Muhammadiyah, selain disebabkan kemampuan Muhammadiyah menjaga jarak dengan politik, juga tidak terlepas dari asketisme Ahmad Dahlan.
Merujuk kepada beberapa sumber tertulis, Peacock dalam bukunya itu menceritakan kembali kepribadian Ahmad Dahlan sebagai turunan dari sikap asketisnya, seperti berjuang dengan ikhlas, sepi ing pamrih rame ing gawe, dan kesatria. Murid Ahmad Dahlan, Muhammad Sudja, memberikan kesaksian terhadap asketisme Ahmad Dahlan lewat buku Kiai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Sudja.
Dalam buku itu, Sudja mengungkap salah satu episode krusial kehidupan Ahmad Dahlan yang disebutnya, ”pengorbanan besar-besaran” yang nyaris mengakibatkan Ahmad Dahlan bertelanjang karena apa yang dimiliki dilelang, termasuk pakaian kepunyaannya, hanya untuk membantu kekurangan pembiayaan pendidikan Muhammadiyah.
Ketika Muhammadiyah pada fase-fase awal dihadapkan kepada sumber dan basis material yang serba terbatas, etos pengorbanan yang dicontohkan Ahmad Dahlan terbukti menjadi modal (capital) dan teladan yang pada gilirannya menggerakkan banyak kalangan menjadikan Muhammadiyah sebagai sasaran filantropi. Etos ini terus diperlihatkan oleh banyak tokoh Muhammadiyah, di antaranya Abdul Rozak Fachruddin atau biasa disapa Pak AR.
Pak AR dijadikan teladan karena sikap asketisnya. Kendati berada pada posisi puncak kepemimpinan Muhammadiyah selama 22 tahun, Pak AR tidak tergoda menggunakannya sebagai instrumen untuk mendapatkan insentif politik dan ekonomi bagi dirinya.
Sikap asketis Pak AR terekam dalam Anekdot dan Kenangan Lepas tentang Pak AR (2016). Buku ini antara lain menceritakan pemberian beberapa kalangan berbentuk uang dalam jumlah yang lumayan banyak kepada Pak AR. Pemberian itu hanya sebentar saja ada di Pak AR karena segera dimasukkan ke kas Muhammadiyah. Ketika ditanya ihwal sikapnya itu, Pak AR menjawab, ”Mereka memberi kepada saya karena mereka memiliki kepercayaan dan komitmen dengan perjuangan Muhammadiyah dan saya adalah Ketua PP Muhammadiyah.”
Cerita itu mengingatkan pada hadis mengenai teguran keras Nabi Muhammad kepada seorang sahabat yang bertugas sebagai amil zakat, yang menerima pemberian yang diklaim sebagai hadiah, tetapi tidak diserahkan kepada negara. Dalam pandangan Nabi, pemberian itu terkait dengan tugasnya sebagai amil zakat yang tanpanya tidak akan mendapatkannya. ”Apakah tidak lebih baik jika ia duduk (saja) di rumah bapak-ibunya, lalu apakah ia (akan) diberi hadiah atau tidak,” kata Nabi menurut suatu hadis.
”The corporate mystic”
Setelah melewati keadaan centang perenang dalam waktu yang tidak pendek, Muhammadiyah telah memiliki sumber dan basis material yang memadai sehingga Muhammadiyah melimpah dengan sumber daya manusia dan infrastruktur yang tersebar di berbagai tempat, bahkan hingga melewati batas-batas negara mengingat kehadiran amal usaha Muhammadiyah di luar negeri dan keberadaan Muhammadiyah diaspora.
Dengan perkembangannya itu, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, Muhammadiyah kini mulai berkembang sebagai fenomena Islam transnasional seperti dikemukakan Azyumardi Azra (2016), dan menyerupai suatu korporasi setelah beberapa amal usaha Muhammadiyah dikelola secara profesional yang mendatangkan revenue dalam jumlah tertentu.
Dapat dipastikan capaian Muhammadiyah itu adalah buah manis dari asketisme Ahmad Dahlan. Dengan sikap asketisnya, Ahmad Dahlan telah menjadi contoh sosok yang menjalankan apa yang disebut dengan the corporate mystic oleh Gay Hendricks dan Kate Ludeman.
Konsep mistikus lazim digunakan sebagai cover term bagi kalangan yang menjalankan lelaku doktrin keagamaan tertentu yang membuat dirinya menepi dan terisolasi dari aktivitas keduniawian, yang biasa dijumpai misalnya di masjid, vihara, kuil, atau gereja. Namun, menurut Hendricks dan Ludeman, di era modern, mistikus, orang-orang suci atau sufi, bisa ditemukan di organisasi-organisasi modern.
Dengan begitu, Ahmad Dahlan dan Pak AR merupakan mistikus atau sufi par excellence kendati kelembagaan tarekat nihil di Muhammadiyah. Dari dua belas ciri the corporate mystic yang dikemukakan Hendricks dan Ludeman dalam The Corporate Mystic (1996), penulis tertarik pada visi jauh ke depan dan fokus yang cermat, salah satu ciri the corporate mystic yang dipraktikkan Ahmad Dahlan.
Sikap asketis yang ditunjukkan dengan tidak gampang tergoda oleh politik kekuasaan dan berjuang dengan ikhlas, sepi ing pamrih rame ing gawe, merupakan bukti Ahmad Dahlan memiliki kepedulian tinggi terhadap masa depan Muhammadiyah. Padahal, Agus Salim, tokoh politik nasional, pernah mengusulkan agar Muhammadiyah berubah menjadi partai politik. Namun, ide Agus Salim itu ditolak dan Ahmad Dahlan keukeuh pada jalur dakwah keagamaan dan kemasyarakatan atau Islam kultural.
Maka, kalau kemudian Ahmad Dahlan berpesan, ”Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan janganlah mencari kehidupan di Muhammadiyah,” tentu bukan sekadar ungkapan verbal karena Ahmad Dahlan telah mencontohkannya. Pada Ahmad Dahlan dengan demikian terdapat ciri the corporate mystic lainnya, yaitu fokus pada kontribusi. Posisi yang dimilikinya, alih-alih digunakan untuk memperkaya diri, justru di fase-fase awal perkembangan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan menggunakan harta yang dimilikinya untuk keberlangsungan Muhammadiyah. Hal yang sama ditunjukkan Pak AR.
Pesan Ahmad Dahlan memiliki relevansi dengan kondisi disruptif yang dihadapi Muhammadiyah belakangan ini. Disrupsi yang dihadapi Muhammadiyah, di samping berasal dari luar, seperti munculnya beberapa lembaga dan aktivitas sejenis sebagaimana dilakukan Muhammadiyah, tetapi mampu melampaui prestasi dan reputasi Muhammadiyah, juga bisa muncul dari kalangan internalnya, yakni kemungkinan tergerusnya etos yang telah dicontohkan oleh generasi paling awal.
Sebagaimana pesan perenial Ahmad Dahlan agar terus menghidupi-hidupi Muhammadiyah, asketisme harus dipelihara dan dikembangkan menjadi nilai yang hidup (living values) dalam tata kelola organisasi dan amal usaha Muhammadiyah. Kebertahanan dan kemajuan Muhammadiyah sangat tergantung kepada kemampuan kalangan internalnya menginternalisasi dan mewujudkan secara terus-menerus etos itu.
Dengan begitu, Muhammadiyah bisa memberi contoh praktik tata kelola yang menjamin individu atau kelompok terhindar dari tindakan penyalahgunaan wewenang yang mengundang praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang masih membudaya hingga kini di Tanah Air, di antaranya karena watak tamak (greedy)—kebalikan asketisme—yang menjalankan kekuasaan. Dengan demikian, Muhammadiyah dapat diproyeksikan sebagai gerakan Islam garda depan seperti harapan Buya Syafii Maarif.
Syamsul Arifin, Guru Besar dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang