Date Post : Rabu, 2 November 2022 | 19:48 WIBPenulis : Dhimas Ginanjar
SETELAH tertunda dua tahun gegara pandemi Covid-19, Muktamar Ke-48 Muhammadiyah akhirnya akan diselenggarakan di Surakarta pada 18–20 November 2020. Salah satu agenda penting, di luar acara rutin pemilihan puncak pimpinan Muhammadiyah untuk periode 2022–2027, pada muktamar nanti, Muhammadiyah akan meluncurkan Risalah Islam Berkemajuan (RIB). Peluncuran RIB ini memiliki makna dan implikasi penting bagi Muhammadiyah.
Tujuh tahun yang lalu, pada muktamar yang ke-47 di Makassar, Muhammadiyah mengusung tema ”Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Sejak muktamar itu, berkemajuan menjadi kata yang akrab setidaknya di kalangan warga Persyarikatan Muhammadiyah. Berkemajuan sebenarnya telah menjadi ungkapan ideologis Muhammadiyah yang menyemangati dan mengarahkan gerakan Muhammadiyah sejak di fase awal pertumbuhan dan perkembangannya.
Ungkapan kemajuan dikumandangkan (blow up) kembali pada momentum muktamar di Makassar itu karena sejumlah alasan. Yakni, pelaksanaan muktamar bertepatan dengan peringatan HUT Ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, yang paling mendasar adalah Muhammadiyah ingin menyampaikan peringatan (warning). Utamanya terhadap kalangan internal agar jangan pernah bergeser dari misi historis dan ideologis Muhammadiyah tersebut.
Kemajuan sengaja dipilih sebagai ungkapan ideologis oleh Muhammadiyah sebagai respons terhadap kondisi akut umat Islam pada semua aspek sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim. Sehingga, kendati sebagai kelompok mayoritas, umat jauh tertinggal dari kelompok lain. Menghadapi kenyataan paradoksal itu, Muhammadiyah bergerak ”tidak ubahnya anak sungai yang tenang tetapi dalam”, kata George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952), merintis banyak amal usaha strategis seperti pendidikan, tablig, dan kesehatan.
Tidak mudah bagi Muhammadiyah merintis amal usaha dengan semangat berkemajuan, terutama untuk memodernisasi kelembagaan umat Islam. Sebab, tantangan pertama yang dihadapi Muhammadiyah justru dari kalangan Islam sendiri. Kendati kelembagaan Islam, pendidikan, misalnya, telah bermunculan pada waktu itu. Namun pada umumnya masih tersandera oleh cara berpikir tradisional yang justru menarik kehidupan umat Islam kian menjauh dari perkembangan zaman.
Cara berpikir tradisional menjadikan umat Islam cenderung bereaksi secara berlebihan terhadap gagasan baru. Bahkan dibingkai dengan konsep keagamaan tertentu yang berakibat pada munculnya sikap bermusuhan terhadap penggagas hal-hal yang baru, seperti penggunaan konsep takfir.
Ahmad Dahlan tidak luput dari sasaran ujaran kebencian dan permusuhan yang dibingkai dengan idiom-idiom tertentu seperti ”kafir”, ”Kristen alus”, atau ”kiai palsu”, sebagaimana diceritakan Ahmad Adaby Darban dalam Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (2017).
Setelah melewati usia beberapa dekade hingga kemudian mampu melampaui usia satu abad lebih, Muhammadiyah telah memiliki banyak amal usaha hampir di semua lini. Muhammadiyah tampil sebagai representasi organisasi Islam terbesar, tidak hanya di Indonesia, bahkan mulai bergerak hingga ke level mondial. Namun, Muhammadiyah menghadapi masalah internal dan eksternal yang tidak hanya memperlambat, bahkan bisa juga menjadikan Muhammadiyah tertinggal.
Pada kenyataannya, memang ada beberapa amal usaha Muhammadiyah yang mulai ketinggalan. Tidak sedikit kalangan yang mulai menggugat dan mempertanyakan proyek modernisasi Muhammadiyah karena dianggap sebagai hal yang sudah biasa (business as usual). Apalagi, banyak pula dari kalangan Islam di luar Muhammadiyah yang melakukan modernisasi. Tentu itu akan menjadi anomali dengan spirit ideologis Muhammadiyah.
Jika tidak segera terkoreksi dan direvisi, krisis bisa menimpa Muhammadiyah. Karena itu, reaktualisasi gagasan berkemajuan memiliki makna dan implikasi mendasar bagi Muhammadiyah. Tujuan utamanya ialah agar warga Persyarikatan Muhammadiyah selalu sadar bahwa kemajuan merupakan gagasan, agenda, dan kerja yang tidak mengenal henti (never ending process).
Warga Persyarikatan Muhammadiyah tidak boleh tersandera oleh waham kebesaran secara subjektif, merasa paling maju dan modern, serta memandang secara sebelah mata terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh pihak lain. Jika itu terjadi, warga Persyarikatan Muhammadiyah berarti telah tertular virus anti kemajuan, apatis terhadap perubahan, yang pada gilirannya menjerumuskan pada negaholic atau negativity; memandang serbanegatif terhadap pihak luar yang terlihat mulai menggeliat dengan berbagai proyek perubahan, modernisasi, dan kemajuan.
Membaca naskah RIB, terdapat beberapa poin penting yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut dengan aksi nyata. Yang pertama, RIB mengingatkan dan mempertegas kembali (reaffirmation) terhadap karakteristik Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan.
Kedua, RIB memberikan penguatan dari sisi teologis bahwa kemurnian akidah (tauhid) dan semangat kembali kepada Alquran dan as sunah, alih-alih sekadar menguatkan sikap puritan, apalagi secara berlebihan yang bisa mempersubur fanatisme buta dan sikap ekstrem, tetapi harus mendorong pada upaya menghidupkan ijtihad dan tajdid (ihya’ al- ijtihad wa al-tajdid).
Ketiga, dalam RIB terdapat pernyataan pentingnya mengembangkan wasathiyah (tanmiyat al-wasathiyah) dalam beragama. Dikemukakan dalam RIB bahwa Alquran menyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat tengahan), yang mengandung makna unggul dan tegak. Islam itu sendiri sesungguhnya adalah agama wasathiyah (tengahan), yang menolak ekstremisme dalam beragama, baik dalam bentuk sikap berlebihan (ghuluw) maupun sikap pengabaian.
Wasathiyah dengan demikian menjadikan kita bersikap toleran dan terbuka terhadap keragaman serta hal-hal yang baru (inovatif). Dengan wasathiyah pula, umat Islam (termasuk Muhammadiyah) melempangkan jalan ke kosmopolitanisme, yakni menjadi bagian dari warga dunia global, yang membuka dirinya berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain di dunia dengan beragam identitas yang dimilikinya. Dalam pandangan Muhammadiyah, sebagaimana dikemukakan dalam RIB, terwujudnya kondisi ini sebagai penanda terwujudnya pula Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (tahqiq al rahmah lil al-alamin). (*)
*) SYAMSUL ARIFIN, Wakil rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, tim penyusun Risalah Islam Berkemajuan (RIB)