Date Post : Selasa, 17 November 2020 | 19:48 WIBPenulis : Dhimas Ginanjar
Dalam usianya yang lebih dari satu abad (18 November 1912 M), Muhammadiyah terus bertahan dan menjalankan misi utamanya sebagai gerakan filantropis berkemajuan. Tanpa menghitung deretan usaha yang telah dilakukan dan hasil yang dilaporkan, hambatan dan rintangan selalu ada dan bisa diselesaikan. Dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakini benar, usaha terus dilakukan sampai terwujudnya cita-cita dan tercapainya tujuan. Yakni, menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Tujuan ini menjadi dasar ideologi yang diperjuangkan semua warga anggota persyarikatan dari level pimpinan pusat hingga pimpinan ranting Muhammadiyah. Dari perspektif nilai tasawuf Abdul Qadir Al Jailani, semakin besar rintangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam memperjuangkan suatu kebenaran dan bisa diatasinya, semakin tinggi tingkat keteladanan (kesufian) Muhammadiyah. Semua warga anggota Muhammadiyah meyakini ’’tiada keberhasilan tanpa perjuangan dan tiada perjuangan tanpa rintangan serta tiada rintangan tanpa pengorbanan’’ sebagai salah satu faktor yang melandasi tetap berdiri tegaknya Muhammadiyah hingga sekarang.
Komitmen warga Muhammadiyah untuk berjuang dan dukungan masyarakat luas dalam melaksanakan program Muhammadiyah adalah karena konsistensi gerakan ini dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar. Keseimbangan misi yang diperjuangkan memunculkan beberapa etos perjuangan. Yakni, sedikit bicara banyak kerja, bertemunya antara ucapan dan tindakan, hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah, serta berlomba-lomba dalam kebajikan. Semuanya dilandasi semangat keikhlasan. Nilai perjuangan yang dilakukan Muhammadiyah, insya Allah, jauh dari pamrih duniawi. Ini adalah faktor lain yang juga melandasi bertahannya Muhammadiyah hingga sekarang.
’’Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya’’ adalah cita-cita mengamalkan semua yang diperintahkan dan dilarang Islam. Secara ideal, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya memang belum terwujud. Tetapi, proses menuju ke sana tetap dilakukan gerakan Muhammadiyah melalui program trisula lama (pendidikan, kesehatan, dan pendampingan sosial) dan trisula baru (Lazismu, Muhammadiyah Disaster Management Center, dan pemberdayaan masyarakat). Ada juga trisula-trisula lainnya yang akan muncul untuk menerjemahkan ideologi Muhammadiyah dan melaksanakan program yang selama ini belum tuntas tercapai seperti bidang ekonomi, budaya, dan politik.
Perjalanan waktu dan derasnya rintangan yang dihadapi persyarikatan menjadikan Muhammadiyah semakin menarik untuk diamati. Pengamatan bukan terletak pada program yang telah berhasil dilakukan. Tetapi bidang yang sedang dan akan dilakukan.
Menurut persepsi orang dalam (insiders) maupun pengamatan orang luar (outsiders), ada perkembangan penting yang menggambarkan kecenderungan ideologi gerakan, terutama yang terkait dengan keterlibatan Muhammadiyah dalam politik kekuasaan. Dalam bidang politik selama ini, Muhammadiyah berorientasi pada politik nilai. Namun, bagaimana politik nilai itu harus diimplementasikan, banyak orang yang masih menunggunya.
Muhammadiyah dan Politik
Keterlibatan para tokoh awal Muhammadiyah ke dalam partai politik merupakan bagian strategi dalam mewujudkan tujuan persyarikatan. Mereka bukanlah para penumpang gratis yang memanfaatkan partai politik sebagai media untuk memenuhi kepentingan diri. Tetapi, mereka termasuk inisiator pendirian partai yang kemudian aktif di dalamnya memperjuangakan Islam melalui politik.
Hubungan antara Muhammadiyah dan partai politik pada masa akhir-akhir ini mulai menarik perhatian banyak kalangan internal untuk membicarakannya. Hal ini disebabkan adanya penilaian bahwa perjuangan melalui politik kekuasaan akan bermanfaat besar bagi kelangsungan program Muhammadiyah. Kedua, posisi Muhammadiyah di luar kekuasaan dirasakan tidak cukup memberikan pengaruh bagi penentu kebijakan negara dalam mengawal arah pembangunan seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah.
Selain alasan di atas, kelonggaran yang sedikit terbuka untuk pimpinan persyarikatan terjun ke gelanggang politik praktis mendorong sebagian para kader ’’bermantap’’ diri merintis karir mereka ke dunia politik kekuasaan. Apalagi, praktik politik yang tampak masih secara demonstratif dinilai jauh dari yang diharapkan Muhammadiyah.
Proses politik lebih didominasi tarik-menarik ambisi lantaran kepentingan diri dan kelompok. Karena itu, yang tampak adalah konflik yang mengemuka. Harapan untuk menciptakan tatanan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat seperti yang dicita-citakan Muhammadiyah ’’kandas’’, tidak tahu kapan bisa dicapainya. Sistem kenegaraan dan pemerintahan belum berjalan. Sistem lebih bergantung pada figur siapa yang sedang berkuasa. Ganti pemerintahan ganti kebijakan. Yang mendominasi adalah kekuasaan diri.
Mengutip ungkapan Napoleon Bonaparte: ’’kekuasaan adalah saya’’. Bangsa terbelah menjadi dua, penguasa dan rakyat. Yang disebut pertama identik dengan ’’sabdo pandito rojo’’. Apa yang disampaikan penguasa identik dengan kebenaran. Kontrol tidak akan menjangkau apabila seorang penguasa berkehendak. Rakyat harus tunduk patuh terhadap apa yang menjadi keinginan yang pertama.
Kondisi seperti di atas menjadi daya tarik (pull) sebagian kader Muhammadiyah untuk terjun ke politik kekuasaan. Tujuannya mulia, ingin berperan dalam penataan kehidupan bernegara melalui politik praktis. Yang ada dalam benak diri mereka, karena negara salah urus, rakyatlah yang menderita. Hal ini dikuatkan ungkapan lama, apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggu saja saat kehancurannya.
Keinginan terjun ke dunia politik praktis memang penting untuk diperhatikan. Perdebatan di internal persyarikatan harus berakhir dan menghasilkan keputusan organisasi untuk memfasilitasi keinginan mereka. Secara normatif, keputusan ini akan menjadi faktor pendorong (push) diperluasnya perjuangan Muhammadiyah di arena politik kekuasaan. Tetapi, pertanyaannya, apakah sudah siap kader Muhammadiyah terjun ke dunia politik kekuasaan sekarang ini? (*)
*) Achmad Jainuri, Guru besar UIN Sunan Ampel Surabaya, wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur