Date Post : Jumat, 7 Juli 2017 | 19:10 WIBPenulis : Miftakhul F.S
Dalam sebuah perjalanan di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini, saya singgah di bandar udara Los Angeles, California. Secara tidak sengaja, saya menemukan sebuah buku berjudul The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters (Kematian Kepakaran: Kampanye Melawan Pengetahuan yang Mapan dan Mengapa Itu Menjadi Masalah) karya Tom Nichols (2017).
Terpaku pada judulnya, saya segera membeli dan melahapnya. Hal yang membuat saya terpaku, buku itu ternyata menggelorakan keresahan yang sama dengan apa yang tengah dialami masyarakat Indonesia saat ini. Semula saya menduga, gelombang literasi instan melalui media sosial yang belakangan ini mendominasi hampir semua wacana dalam kehidupan hanya terjadi di Indonesia. Namun, rupanya tidak. Buku Tom Nichols itu setidaknya membuktikan bahwa gejala tersebut, tampaknya, terjadi secara global di seluruh dunia, khususnya di AS.
Nichols membuka bukunya dengan memaparkan apa yang sedang terjadi di AS menyangkut informasi dan pengetahuan. Menurut dia, hidup di era informasi seperti sekarang ini justru banyak melahirkan apa yang dia sebut ignorance atau kedunguan di kalangan publik di AS. Nichols (2017: ix-x) menulis, ’’... Amerika Serikat sekarang ini adalah sebuah negara yang terobsesi dengan kedunguan (ignorance)-nya sendiri... Masalahnya bukan pada kenyataan bahwa orang tidak memahami geografi... Masalah yang lebih besar adalah kita bangga karena tidak mengetahui banyak hal.’’
Tidak terlalu sulit untuk menyetujui pengamatan Nichols atas apa yang terjadi di AS itu. Karena ignorance dan kegandrungan pada literasi instan tersebut menggejala demikian masif, kepakaran terancam mati.
Nichols mengungkapkan, ’’... dengan kematian para pakar, saya tidak mengatakan bahwa kemampuan kepakaran benar-benar telah musnah...’’
Secara praktis, ’’...dokter, pengacara, diplomat, insinyur, dan keahlian-keahlian dalam bidang lain akan tetap selalu ada. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin dunia berfungsi tanpa mereka. Jika kita mengalami patah tulang atau ditangkap (polisi), kita memanggil seorang dokter atau pengacara.’’
Tetapi, kata Nichols, bukan keahlian dalam bidang-bidang teknis itu yang dia maksud. Lebih dari itu adalah keahlian dalam bidang intelektual yang seolah-olah tidak lagi dibutuhkan masyarakat. Dalam konteks Amerika, yang dikhawatirkan Nichols berkaitan dengan kebijakan publik. Masyarakat sudah tidak pernah menganggap penting adanya akademia di kampus-kampus dan merasa tak perlu belajar kepada mereka. Sebab, ada perasaan mereka telah mengetahuinya melalui internet.
Di Indonesia, keadaannya juga sama. Namun, bidang yang lebih sering dijadikan perdebatan adalah bidang keagamaan, terutama Islam. Tidak perlulah berguru kepada kiai. Cukup klik internet, semua bentuk fatwa akan keluar. Itulah salah satu fakta menarik yang dipotret Nadirsyah Hosen dalam sebuah tulisannya, Online Fatwa in Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling A Kiai.
Dalam situasi yang sedemikian rupa, buku lantas menjadi tidak bermakna. Para pakar yang menulis buku menjadi tidak berharga. Padahal, buku memainkan peran penting dalam transmisi intelektualisme dalam sebuah peradaban. Dalam tradisi intelektualisme Islam, buku bisa dijadikan salah satu ukuran kualitas intelektual seorang sarjana.
Bayangkanlah jika para sarjana muslim dari abad klasik dan pertengahan tidak menulis buku sesuai dengan kepakarannya, bagaimana kita yang hidup ratusan tahun setelah mereka bisa mendalami warisan intelektual mereka, baik dalam bidang ilmu-ilmu keislaman maupun bidang-bidang yang lain?
Khaled Abou El Fadl, sarjana muslim asal Kuwait yang bermukim di AS, menulis sebuah buku yang bermaksud menunjukkan betapa menulis buku, mempertahankan tradisi intelektual, dan idealisme ilmu merupakan sebuah perjuangan yang melelahkan. Dalam buku berjudul The Search of Beauty in Islam: A Conference of the Book (2006), Khaled ingin menunjukkan bahwa salah satu cara memahami keindahan Islam adalah dengan melihat tradisi intelektual yang demikian kuat dalam Islam.
Bagaimana perjuangan para sarjana muslim zaman klasik dan pertengahan seperti Al Jahiz, Abu Hunayn Al Twahidi, Imam Haramayn al Juwaini, Fakhr al Din al Razi, Jalal al Din al Suyuthi, atau Al Ghazali dalam mempertahankan tradisi intelektual Islam, dan salah satu jawaban yang paling pasti adalah menulis dan mewariskan buku.
Sebuah kalimat mutiara yang sering dinisbahkan kepada Imam al Syafii menyatakan: al-ilmu shayyidun wa al-kitabatu qayyiduhu, qayyid shuyudaka bi-hibali al-watsiqati, fa min al-hamaqati an tashida ghazalatan wa tatrukuha baina al-khalaiqi thaliqatan. Pepatah itu bisa diterjemahkan secara bebas dengan: ’’Ilmu ibarat binatang buruan dan tulisan adalah pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah sebuah kebodohan berburu kijang dan engkau melepaskannya begitu saja justru setelah engkau berhasil menangkapnya’’. Maknanya: menulislah. Tulislah semua pengetahuan yang engkau peroleh agar ia tidak sia-sia.
Karena itu, jika kita tidak ingin menyaksikan kematian kepakaran, para pakar harus kita tempatkan sebagaimana mestinya. Kembali menggalakkan literasi dengan membaca buku ketimbang membaca informasi di media sosial akan menjadi salah satu tonggak untuk mengurai dilema-dilema pada wilayah sosial yang belakang ini mengemuka dalam kehidupan kita. (*)
*) Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM, sedang mendalami ilmu politik di University of Massachusetts Amherst, AS