Date Post : Sabtu, 29 April 2023 | 21:12 WIBPenulis : Abdul Sidiq Notonegoro
Gegara Idul Fitri tidak bersamaan, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bernama Andi Pangerang Hasanuddin (APH) secara pongah mengeluarkan ancaman ”bunuh” kepada warga Muhammadiyah dan mengaku tidak takut jika komentarnya tersebut dibawa ke jalur hukum. Melalui akun Facebook-nya yang sempat viral (tapi kini sepertinya tidak bisa diakses lagi), APH membuat pernyataan yang sungguh-sungguh sangat jauh dari statusnya sebagai seorang intelektualis-riset.
Melalui akun Facebook-nya –yang dikutip juga oleh Jawa Pos (26/4/2023) dengan berita berjudul Peneliti BRIN Terancam Disanksi–, APH membuat komentar sebagai berikut: ”Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah…Sini saya bunuh kalian satu-satu” dan ”Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan!!! Saya siap dipenjara.”
Komentar APH tersebut sesungguhnya merupakan bentuk dukungan terhadap pernyataan Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN Thomas Djamaluddin (TD) yang berbau kritik menjurus nyinyir dalam menyikapi perbedaan penetapan 1 Syawal 1444 Hijriah.
Satu di antara pernyataan nyinyir TD adalah menyebut Muhammadiyah sebagai kelompok mufaraqah atau yang memisahkan diri dari umat hanya karena tidak mengikuti ketetapan Idul Fitri versi pemerintah. Dan kita masih ingat, TD yang sejak 2012 tampil sebagai tim unifikasi kalender Kementerian Agama selalu membuat statemen yang menyakiti Muhammadiyah. Termasuk yang menyebabkan Muhammadiyah walk out dari sidang isbat 2013.
Akibat pernyataan yang bernada ancaman pembunuhan tersebut, Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) PP Muhammadiyah mendesak aparat penegak hukum memproses ancaman tersebut. Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution menilai pernyataan peneliti BRIN itu barbar, berakal pendek, defisit moral, dan melampaui keadaban seorang peneliti (Jawa Pos, 26 April 2023).
Tutur Bahasa Menunjukkan Karakter
Peribahasa Melayu yang cukup terkenal –karena dikenalkan kepada kita sejak dalam pendidikan dasar– yang berbunyi ”bahasa menunjukkan bangsa” memberikan penegasan bahwa bahasa merupakan representasi dari identitas suatu bangsa, dan tutur bahasa dapat menjadi cerminan tabiat, kesopansantunan, serta ke(per)adaban seseorang. Dengan kata lain, tutur bahasa merupakan cermin yang menunjukkan kepada khalayak tentang siapa diri kita sesungguhnya.
Tutur bahasa tidak sekadar sebagai sarana untuk menyampaikan sebuah pesan kepada sasaran, tetapi sekaligus memberikan kesan kepada sasaran tentang seperti apa tabiat diri kita. Tutur bahasa yang disampaikan APH sangat tidak selaras dengan statusnya sebagai peneliti BRIN, sebuah lembaga riset nasional yang tentu bahasa komunikasi sehari-harinya lebih didominasi dengan istilah-istilah ilmiah.
Tutur bahasa yang diungkapkan oleh APH melalui akun Facebook-nya seolah memberikan simpulan bahwa tingkat pendidikan maupun status sosial tidak memiliki korelasi dengan adab bertutur bahasa. Cuitannya di medsos tidak mampu menempatkan dirinya di posisi sebagai pribadi yang mengedepankan berpikir logis dan akademik.
Atau mungkinkah ada faktor lain yang berpotensi mengganggu sinyal sefrekuensi antara tutur bahasa dan profesi? Misalnya karena faktor kepentingan politik kekuasaan, faktor kepentingan perut, atau faktor kepentingan kelompok/golongan. Sehingga potensi persinggungan ilmiah cenderung diabaikan jika dianggap tidak menguntungkan kepentingan pragmatis.
Kaum intelek harus mampu menyampaikan kritik-kritiknya secara intelek pula. Jangan sampai terulang seseorang yang telah lama bersemayam di ruang ilmiah dan mengklaim diri sebagai bagian dari masyarakat yang intelek, tetapi menyikapi persoalan perbedaan saja menggunakan cara-cara preman. Perlulah kaum intelektual itu merespons hal-hal yang tidak sepaham dengan cara-cara intelek pula.
Peneliti Bukan Penentu Kebijakan
Sebagai seorang peneliti, cukuplah dengan mengungkapkan atau memublikasikan hasil penelitiannya, tanpa memiliki otoritas untuk memaksa publik mengakui atau bahkan menggunakan hasil penelitiannya dalam ranah praktis. Seorang peneliti tidak patut bertindak arogan ala preman.
Seorang peneliti yang profesional pasti terikat dengan kode etik dan etika sebagai pedoman. Dengan kata lain, peneliti dan hasil penelitiannya tidak bebas nilai. Karena itu, kode etik dan etika haruslah ditempatkan lebih tinggi dari hasil penelitian itu sendiri. Meminjam bahasa pesantren, kode etik dan etika merupakan ”adab” yang seyogianya ditempatkan lebih tinggi daripada ilmu. Dalam kitab Fathul Bari dijelaskan bahwa al-adab adalah menerapkan segala yang dipuji oleh orang, baik perkataan maupun perbuatan.
Peneliti profesional haruslah memiliki kedewasaan pikiran, kedewasaan tindakan, dan kedewasaan moral. Ketiga kedewasaan tersebut merupakan energi utama untuk menjadikan seorang peneliti yang siap dalam menerima perbedaan hasil penelitian. Perbedaan itu pasti akan sangat mungkin terjadi hanya karena faktor sudut uji. Sebagai contoh perbedaan dalam penentuan awal Ramadan maupun Syawal.
Karena itu, peneliti yang memiliki tiga kedewasaan tersebut pasti akan tampil sebagai peneliti yang mampu menghargai perbedaan hasil penelitian lain. Bukan justru menjadi peneliti yang merasa hasil penelitiannya yang paling benar dan yang lain salah.
Patut dipenuhi dengan kecurigaan jika seorang peneliti memaksakan bahwa hanya penelitiannya yang paling benar. Jangan-jangan penelitiannya berdasar pesanan atau proyek untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek. Seperti halnya para pembuat hadis-hadis palsu di masa lalu demi kepentingan politik. Pakar hadis seperti Dr Umar Fallatah, Dr Mustafa Siba’i, dan Dr Abdul Shomad meyakini bahwa pemalsuan hadis bermula dari fitnah pembunuhan Khalifah Usman.
Bagi para peneliti, kembalilah ke asas penelitian itu sendiri. Janganlah seorang peneliti bertindak layaknya politisi dan/atau penguasa politik. Peneliti itu bekerja dengan diam, bukan dengan koar-koar. Atau bersegeralah ke panggung politik dan tinggalkan ruang riset. (*)
*) ABD. SIDIQ NOTONEGORO, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik