Date Post : Kamis, 8 April 2021 | 19:48 WIBPenulis : Dhimas Ginanjar
Dua tindakan teror yang terjadi baru-baru ini menunjukkan dengan gamblang betapa generasi muda begitu rentan terpapar paham ekstremis. Para pelaku teror itu, baik pasangan pengantin muda pada bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar maupun penyerang Mabes Polri, sama-sama kelahiran 1995.
Dalam kategori demografis, mereka termasuk generasi milenial. Berdasar teori generasi Strauss-Howe, generasi milenial adalah mereka yang lahir antara 1982 hingga 2002. Tahun 2021 ini, berarti generasi itu berada di puncak produktivitas usia mereka, yaitu 19 hingga 39 tahun.
Menurut catatan Suhardi Alius, ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2016–2020, dalam bukunya, Pemahaman Membawa Bencana: Bunga Rampai Penanggulangan Terorisme (2019), lebih dari separo (52 persen) tahanan teroris berusia 17 hingga 34 tahun. Mereka tergolong generasi milenial.
Tiga Faktor
Ada tiga faktor mengapa generasi milenial begitu rentan terpapar ekstremisme agama. Pertama, mereka berada di usia dengan rasa ingin tahu dan keinginan belajar yang sangat tinggi. Pada saat yang sama, pemahaman keagamaan mereka masih dangkal dan terbatas. Situasi ini menjadi pintu masuk yang strategis bagi jaringan ekstremis untuk mengisi ruang kosong itu dengan paham mereka.
Terlebih, generasi milenial lebih suka bacaan Islami yang meletup-letup dan mengguncang pikiran ketimbang bacaan yang bernuansa toleransi dan perdamaian. Hasil riset UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta pada generasi milenial muslim di 16 kota di Indonesia pada 2018 menunjukkan bahwa literatur perdamaian dan Islam moderat kurang diminati. Bacaan favorit para milenial muslim adalah buku-buku Islami populer hingga literatur bergenre tarbawi, tahriri, dan jihadi, yang berdasar temuan penelitian tersebut terbukti tersusupi paham radikal.
Kedua, generasi ini masih dalam tahap pencarian jati diri sehingga secara personal tidak stabil dan secara sosial kerap merasa terpinggirkan. Secara personal, sebagaimana disebut Suratno dalam buku Muslim Milenial (2018), generasi milenial rentan terpapar karena masih dalam usia yang dicirikan dengan profil penuh kebimbangan dan disorientasi akan masa depan mereka. Mereka juga dihiasi jiwa avonturir, heroisme, dan adrenalin gampang naik sehingga cenderung mudah terprovokasi.
Pierre Rehov, sutradara dan novelis Prancis yang sering membuat film dokumenter tentang terorisme, mengisahkan tak sedikit anak-anak muda yang menjadi ekstremis dan nekat melakukan bom bunuh diri adalah mereka yang berekonomi mapan dan berpendidikan tinggi, namun termarginalkan secara sosial. Mereka umumnya tengah menanggung beraneka macam beban psikologis. Mulai krisis identitas hingga kompleks inferioritas. Maka, keterlibatan dalam kelompok teroris telah mewakili suara mereka sebagai ciri perlawanan kaum muda, menumbuhkan rasa persaudaraan (sense of belonging), sekaligus kesempatan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.
Ketiga, generasi milenial termasuk kategori pribumi digital (digital native) yang sangat lekat dengan penggunaan media sosial (medsos). Situasi ini dimanfaatkan kelompok ekstremis dengan menjadikan platform digital sebagai sarana konsolidasi strategis. Secara khusus, Maura Conway (2006) mengidentifikasi lima inti penggunaan internet dan media sosial oleh kelompok teroris. Yaitu, penyediaan informasi, pembiayaan, perluasan jaringan, perekrutan, dan pengumpulan informasi.
Dalam hal ini, masing-masing platform digital digunakan untuk taktik berbeda. Facebook, karena memiliki mekanisme pelacakan serta lebih transparan dalam pemuatan informasi waktu dan lokasi, tidak digunakan untuk perekrutan dan perencanaan langsung. Facebook lebih sering dipakai untuk propaganda melalui distribusi informasi dan video. Tujuannya memetakan pandangan warganet dan mencari pendukung yang berpikiran seirama. Tak heran, serangan teror di Masjid Christchurch di Selandia Baru pada 15 Maret 2019 sengaja disiarkan langsung via video streaming Facebook oleh si pelaku.
Hal yang sama dilakukan para ekstremis melalui unggahan konten narasi radikalisme maupun aksi terorisme di YouTube. Hal inilah yang disebut Boaz Ganor (2007) sebagai rayuan hipermedia dalam perekrutan teroris. Yakni, melalui penggunaan motif visual yang lebih akrab bagi warganet muda untuk menangkap respons psikologis dan emosional mereka terhadap aksi kekerasan.
Sementara itu, Twitter menjadi sarana komunikasi potensial bagi para perekrut karena keterlacakan identitas dan sumber twit lebih sulit ditemukan. Para ekstremis juga memanfaatkan situs ruang obrolan seperti Reddit, 4chan, dan 8kun sebagai lokus komunikasi dan konsolidasi untuk perencanaan aksi teror dan tindakan ekstremisme-kekerasan.
Keberadaan medsos tak hanya memudahkan jaringan organisasi ekstremis untuk mencari profil anak muda untuk direkrut. Namun juga menginspirasi mereka dalam me-rebranding jihadisme sebagai aktivitas khas anak muda. Caroline Picart (2015) menyebut citra tersebut sebagai ”jihad cool” yang memuat rangkaian strategi mental, psikologis, dan sosial untuk mengubah alam pikiran dan retorika perbincangan radikal menjadi tindakan radikal. Tujuan akhirnya membuat seorang anak muda mampu mengaktifkan dirinya sendiri menjadi lone wolf (teroris serigala tunggal).
Penguasaan algoritma medsos dan psikografi generasi milenial oleh kelompok teroris menjadi tantangan tersendiri bagi setiap elemen. Pemerintah, tokoh masyarakat, media massa, dan para pihak terkait perlu meramaikan dan memutakhirkan narasi tandingan (counter-narratives) dunia maya agar menutup segala pintu masuk menuju ekstremisme, mulai dari alam pikiran. Tak cukup sekadar mengutuk tindakan teror dan mengejar aktor intelektual di baliknya. Kita harus selangkah lebih maju daripada kaum ekstremis. (*)
*) Subhan Setowara, Lulusan University of Nottingham, direktur eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar UMM