Date Post : 12 Mei 2023 04:00 WIB
Penulis : FAJAR RIZA UL HAQ
Di hadapan Presiden Joko Widodo saat menghadiri pembukaan Muktamar XVIII Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Kalimantan Timur, 22 Februari 2023, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menegaskan dua pilar keindonesiaan yang membingkai gerakan organisasinya, yaitu mengamalkan nilai kebinekaan dan membangun Indonesia dari pinggiran.
Muhammadiyah bertekad membangun fasilitas layanan kesehatan di Indonesia timur, seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur. Kiprah Muhammadiyah di tanah Papua telah dirasakan kontribusinya sehingga mendapatkan pengakuan dari beragam pihak.
Kohabitasi sosial
Hubungan Muhammadiyah dengan kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen di Papua dan NTT mencerminkan model kohabitasi sosial yang sebangun dengan semangat kewargaan dan keindonesiaan.
Kelompok minoritas Muslim terintegrasi ke dalam tata sosial masyarakat yang mayoritas non-Muslim. Proses ketegangan dan negosiasi antarkelompok dimediasi oleh nilai-nilai kultural dan dipertemukan oleh kearifan lokal.
Muhammadiyah tidak akan bisa berdiri dan membangun institusi pendidikan di Ende, Flores, NTT, tanpa keterbukaan dan akomodasi terhadap realitas sosial dan politik lokal.
Penolakan dari kelompok- kelompok keagamaan tradisionalis yang bertemu kepentingannya dengan elite bangsawan lokal tak cukup mampu menghadang laju Muhammadiyah yang memasuki Pulau Flores melalui Sikka pada 1926.
Justru Uskup Agung Ende Mgr Donatus Dagom tidak menghalangi, bahkan memberikan bantuan keuangan, untuk pembangunan ruang kelas SMA Muhammadiyah Ende yang didirikan 1971. Sebagian besar siswanya adalah non-Muslim. Banyak orangtua mereka adalah alumnus sekolah tersebut.
Konsistensi Muhammadiyah melembagakan nilai-nilai kebinekaan di lembaga pendidikan terekam dalam Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan karya Abdul Mu’ti dan penulis (Kompas, 2023).
Buku ini memperlihatkan proses pendidikan di institusi Islam yang menjadi minoritas dalam konteks masyarakatnya telah merekatkan jiwa keindonesiaan peserta didik yang majemuk dan mendorong modernisasi sosial di daerah-daerah pinggiran, seperti Ende (NTT), Serui (Papua), dan Putussibau (Kalimantan Barat).
Modernisme Islam menyemaikan nilai-nilai kemajuan dan menumbuhkan budaya literasi masyarakat di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal). Proses konvergensi dan kohabitasi sosial melalui lembaga pendidikan tersebut terbentuk tanpa harus saling menyisihkan, apalagi meniadakan, identitas sosial di luar pihak masing-masing.
Cerita berbeda menyeruak dari “Negeri Serambi Mekkah“. Hubungan Muhammadiyah dengan kelompok Muslim lain di Kabupaten Bireuen menyajikan potret ketimpangan.
Muhammadiyah mengalami intimidasi dan teror selama bertahun-tahun. Rencana membangun masjid terus dihalangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab meski IMB telah terbit tahun 2017.
Kelompok penolak beralasan pembangunan masjid itu akan merusak kerukunan umat beragama. Namun, investigasi Ridha Basri menemukan, Muhammadiyah Bireuen telah menjadi korban intoleransi internal umat beragama karena dinilai tak sehaluan dengan akidah ahlussunnah waljamaah (Suaramuhammadiyah.id, 6/11/2020). Padahal, Muhammadiyah di daerah ini telah berkembang sejak 1950-an dengan mendirikan sejumlah lembaga pendidikan dan kesehatan.
Justru Uskup Agung Ende Mgr Donatus Dagom tidak menghalangi, bahkan memberikan bantuan keuangan, untuk pembangunan ruang kelas SMA Muhammadiyah Ende yang didirikan 1971.
Konsensus
Pengalaman panjang Muhammadiyah bergumul dengan kompleksitas sosial dan pancaroba politik telah menempanya menjadi organisasi yang terbiasa hidup di tengah perbedaan, bahkan pertentangan.
Meskipun dalam beberapa kasus menjadi korban intoleransi dan kekerasan seperti di Bireuen dan Banyuwangi, komitmen Muhammadiyah merawat kebinekaan dan mengembangkan dialog lintas golongan tidak surut.
Rekomendasi Muktamar Ke-47 Muhammadiyah tahun 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan, mengamanatkan untuk mengedepankan budaya dialog dengan golongan ataupun pemahaman keagamaan yang berbeda. Umat diingatkan untuk menahan diri dari perbuatan tercela dan mencederai hukum dalam menghadapi perbedaan.
Pesan ini menuntut agar semua warga negara mempertajam rasa empati dan solidaritasnya terhadap sesama sehingga bisa berbuat adil, baik ketika berkuasa dan menjadi kekuatan mayoritas maupun sebaliknya.
Penolakan beberapa pemerintah daerah terhadap permintaan Muhammadiyah untuk menggunakan fasilitas umum (lapangan) sebagai tempat shalat Idul Fitri tidak melunturkan komitmennya dalam menjaga ketertiban umum. Adalah absurd jika ada pihak yang menuding Muhammadiyah tak patuh kepada pemerintah karena tak mengikuti hasil sidang isbat Kementerian Agama dalam menentukan 1 Syawal 1444 H.
Dalam perspektif An-Naim (Islam and the Secular State, 2010), kebijakan negara haruslah mengacu pada alasan-alasan kewargaan yang bisa diakses oleh semua pemeluk agama dan kelompok keyakinan. Negara tidak bisa memaksakan kehendak atas persoalan-persoalan keagamaan yang belum mencapai titik konsensus di antara umat beragama sendiri.
Pada satu sisi, perselisihan pandangan ijtihadi tak bisa dikriminalisasi. Kelompok keagamaan yang mengambil pilihan berbeda dengan institusi negara tidak boleh diinkuisisi karena akan melegalkan otoritarianisme tafsir, memakai bahasa El Fadl dalam Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (2001).
Pada sisi lain, upaya menormalisasi ujaran kebencian, apalagi ancaman pembunuhan disampaikan di media sosial tak bisa dibenarkan secara moral dan hukum. Ada garis demarkasi yang terang antara melontarkan diskursus akademik dan provokasi kebencian.
Peristiwa genosida terhadap suku Tutsi di Rwanda pada tahun 1994 disulut oleh normalisasi ujaran kebencian dan agitasi permusuhan yang terus disebarkan di koran dan radio.
Oleh karena itu, penulis menghargai opini M Zaid Wahyudi, “Stop Politisasi Perbedaan Idul Fitri“ dalam rubrik Catatan Iptek Kompas (3/5/2023) yang berusaha mencari solusi atas perbedaan penanggalan hari raya. Ada tiga hal yang perlu mendapat tanggapan.
Negara tidak bisa memaksakan kehendak atas persoalan-persoalan keagamaan yang belum mencapai titik konsensus di antara umat beragama sendiri.
Pertama, penangkapan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional oleh kepolisian bukan bentuk kriminalisasi terhadap pendapatnya yang berbeda dengan Muhammadiyah, melainkan murni karena melakukan ancaman pembunuhan sehingga menjadi persoalan hukum.
Kedua, mendaulat sidang isbat Kemenag sebagai otoritas tunggal dalam menjaga kalender Islam Indonesia berpotensi melembagakan otoritarianisme tafsir sepanjang konsensus di antara ormas keagamaan belum tercapai.
Ketiga, mendorong penyatuan Kalender Islam Indonesia (lokal) sebagai solusi atas kemungkinan terjadinya kembali perbedaan penetapan hari raya tidak akan mengakhiri persoalan karena bersifat parsial.
Usaha Islamic World Educational, Scientific, and Cultural Organization (Isesco), badan yang didirikan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), mengkaji perumusan Kalender Islam Global lebih mendekatkan pada pencapaian konsensus dunia Islam dengan prinsip satu hari satu tanggal di seluruh dunia.
Fajar Riza Ul Haq, Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah